- 09 ♠️

416 73 76
                                    

Aku duduk di bangku kayu, di depan meja sajian makanan yang dialihfungsikan sebagai piranti belajar-mengajar. Pandanganku lurus ke depan, memerhatikan papan tulis di dinding.

Papan tulis sebesar layar televisi LED di sampingnya itu diketuk-ketuk oleh Si Kacang Panjang Hijau dengan penggaris plastik.

Si Kacang Panjang Hijau menulis soalnya, mengerjakannya, dan dia mengajari aku—dia menjelaskan darimana dia bisa memperoleh jawaban itu secara runtut. Si Kacang Panjang Hijau menggurui aku setelah sebelumnya, dia mengasongkan lima puluh soal perasionalan bentuk akar dengan turunan-turunannya, soal buatannya sendiri. Aku tidak punya pilihan selain menyelesaikannya.

Ucap Si Kacang Panjang Hijau, dia menyusun soal itu dibantu Gempa, hampir semalaman. Si Kacang Panjang Hijau mengatakan, dia ingin melihat kepiawaianku dalam menghitung cepat, dan dia berharap, aku mengalami sekali dua kali kesalahan kalkulasi. Aku menyimpulkan, Si Kacang Panjang Hijau begitu bersemangat untuk menantikan aku berbuat ceroboh dan miss-perhitungan. Dia sungguh berambisi menemukan ketidaksempurnaan dalam jawabanku.

Dengan ini, setelah mengajarinya matematika selama satu minggu penuh, aku bisa memvonis, perkembangannya cukup progresif. Aku tidak bilang, dia bisa menyaingi Top Ten, tapi dia sudah berada jauh dari masa lalunya, masa-masa buta matematika.

"Darimana kamu dapat angka empat di sebelah akar-akarnya?" Aku menjalankan peranku, aku bertanya seperti aku betul-betul tidak tahu, dan Si Kacang Panjang Hijau terpaksa memaparkan alur penyederhanaan bilangannya.

"Itu kan, sifat dasar merasionalkan bentuk akar, Miss." Berbangga diri, Si Kacang Hijau mengucapkan kalimat itu. Si Kacang Hijau memiliki pikirannya sendiri, dia pasti takjub dia bisa menguliahi aku begitu. "Bentuk awalnya ..."

Penggaris Si Kacang Panjang Hijau mendarat ke permukaan plastik papan tulis pada ruas kiri. "Lihat. Dua puluh, per akar delapan dikurang akar akar tiga. Untuk memecahkan persoalan ini, kita ubah bentuknya menjadi lebih sederhana. Enggak susah-susah, Miss. Seperti kata kamu, matematika, jangan dibawa susah. Tinggal pindahkan penyebutnya ke samping. Jadinya, dua puluh per akar delapan dikurang akar tiga, dan sekarang, dikali lagi dengan akar delapan ditambah tiga per akar delapan dikurang tiga. Bisa dioperasikan, dua puluh akar delapan ditambah akar tiga per delapan dikurangi tiga. Delapan dikurang tiga, kan lima. Dua puluh dibagi lima, ya empat. Jadilah bentuk paling rasionalnya, empat akar delapan ditambah akar tiga."

Rasanya seperti mengulang kembali materi anak SMA. Tapi, tidak apa-apa. Kapan lagi aku duduk di sebuah ruangan dalam peran pelajar, dan aku digurui oleh anak SMA kelas akhir yang sebentar lagi akan melaksanakan ujian nasional, tapi dia belum mempersiapkan diri sama sekali, dan malahan, dia belajar matematika seharian, tanpa dipaksa.

Aku menopang dagu, mempertimbangkan kemajuan-kemanuan Si Kacang Panjang Hijau. Dari waktu ke waktu, bicaranya mulai percaya diri. Si Kacang Panjang Hijau menggurui aku secara terperinci sejak tempo hari. Kupikir dia mulai terbiasa mengajari aku. Dagunya terangkat, sedikit narsismenya menyeruak keluar. Dia bahagia karena dia merasa dia telah mencerahkan pikiranku, menyelamatkan aku dari jurang ketidaktahuan dengan menjadi seorang guru dadakan.

"Oh. Begitu." Aku pura-pura tercerahkan, supaya Si Kacang Hijau kian membusungkan dada dan bersikap angkuh. Tidak apa-apa. Toh, aku sedang 'menipu'nya.

Aku seperti menyuapi seorang balita sebatang coklat, tapi aku juga menyembunyikan sayur-mayur sehat di balik coklatnya. Balita itu akan tergugah karena dia menyukai coklatnya, dia memakannya, tapi ibunya juga mencekokinya sayuran dalam gigitan coklatnya. Klasik. Jarang ada yang mencampurkan teknik psikologi ke dalam kurikulum. Sebetulnya sistem ini telah dicapai di China. China menyuruh murid-muridnya untuk berperan aktif dan berbantah-bantahan dengan gurunya—kalau di Perancis, namanya logical fallacies. Di negaraku juga, peran serta murid dalam aktivitas belajar sudah diterapkan, tapi karena seseorang dibalik penyajian kurikulumnya hanya mencontek kurikulum China dan Amerika Serikat tanpa mempelajarinya, mereka jadi salah kaprah.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang