- 19 ♣️

647 112 92
                                        

Lower bracket tadi malam lebih asik dinikmati daripada upper bracketnya, tapi aku tidak menontonnya sampai selesai karena Si Kacang Hijau malah mengikuti aku.

Si Kacang Hijau baru menang. Aku akan memanfaatkan sifat pongahnya untuk menumbuhkan rasa percaya diri di pertandingan selanjutnya. Setidaknya, dia tidak akan gugup saat masuk ke stage sambil ditembak lampu sorot dari catwalk.

Lower bracket mengelompokkan secara acak pesertanya menjadi lima regu. Masing-masing regunya diisi oleh sepuluh mahasiswa. Dan di salah satu regunya, aku melihat Sopan. Meskipun pertanyaan yang dijawabnya terkesan mudah, dan tidak mustahil dihitung tanpa kalkulator, tapi dia cepat. Entah berapa lama dia melatihnya—kecepatan itu terlihat sama gilanya dengan Solar.

Di dunia, ada banyak cara untuk mengajarkan matematika pada anak. Salah satu caranya, cara paling ampuh, paling mantap, paling cerdas, yakni cara sederhana dimana guru mengulangi substansi belajarnya berkali-kali, secara ekstrem. Seperti apa yang aku terapkan pada Si Kacang Hijau belakangan ini. Aku menanyainya soal perkalian satu sampai sepuluh. Aku tidak berhenti mengulangnya lagi. Bukan sekali. Bukan sepuluh kali. Bukan seratus kali. Namun sebanyak-banyaknya.

Kemampuan bersepeda diperoleh dari latihan bersepeda secara berkala, berulang-ulang. Juga kemanpuan berhitung. Entah seberapa sering Sopan dan Solar membiasakan diri mereka.

Aku mengenggerkan tangan di pasak balkon, lagi-lagi merenung. Secara korelatif, Si Kacang Hijau di masa lalu, dan Solar serta Sopan, bukanlah perbandingan apple to apple. Kelas mereka berbeda. Lingkungan mereka tak sama. Jenius tak selamanya dibentuk dari genetik, tapi juga terpengaruhi oleh lingkungan.

Anak pejabat ternakal, tergoblok, dan terhancur di sekolah berbasis internasional, yang kerjanya mabok-mabokan di diskotik, ikut geng motor enggak jelas, ngetraktir temennya makan di resto Osteria, mereka bahkan lebih baik secara kemampuan berhitung daripada anak paling pintar di sekolah desa.

Meskipun tak sebagus aku—ehem, tentu saja—guru-guru di sekolah berkurikulum IB internasional kurang lebih memiliki pemahaman yang lebih baik ketimbang guru di desa.

Secara strategi skala besar, mengenai bagaimana cara memeratakan pendidikan, aku tidak tahu. Tapi kupikir, orang pintar seharusnya menjadi guru, bukannya pegawai perusahaan Big Three, Perseroan China dan Singapura, atau pekerjaan remote di korporasi luar negri. Justru merekalah yang semestinya menggurui. Tapi sulit. Untuk merealisasikan agar orang pintar mau direkrut ke divisi guru, mereka perlu diiming-imingi gaji besar—itu tidak salah, guru berhak menerima gaji sangat sangat sangat sangat besar, asalkan kualifikasi penerimaannya baik.

Pemandangan Kuala Lumpur yang menyala dari atas terkadang terlihat begitu menyesakkan. Awalnya aku terbiasa hidup begini, tinggal di antara hiruk pikuk kota, memacu waktu setiap harinya, bekerja pagi sampai malam karena aku berpikir bahwa hidup merupakan persaingan tiada akhir. Tapi perasaan penuh penerimaan itu luntur sejak aku mengunjungi desanya si Kacang Hijau.

Dalam marka, itu pengalaman pertamaku, bisa aku katakan, awalnya, aku syok. Aku syok karena tiang listrik di desa bukan jenis tiang listrik bertegangan tinggi, dan konsumsi listrik desa rupanya kecil sekali. Mana pula, pada salah satu tiangnya, aku menemukan kabel semerawut yang menjuntai ke bawah, stopping bucklenya renggang, tension polenya miring sehingga tegangan kawatnya kendur, dan konstruksi TR-1 dengan suspension small angle assemblynya tidak dipasang untuk memenuhi standar Sofrelec, New Jack, dan Chas T karena komponennya acak-acakan.

Aku juga syok karena penginapannya agak berantakan, dan WCnya jorok.

Tapi selain soal WC dan tiang listrik, aku menemukan rasa tentram. Pasti enak kalau aku punya satu rumah di pedesaan. Satu rumah yang ketika aku libur bekerja, aku bisa mendatanginya. Refreshing.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang