- 20 ♥️

316 59 101
                                    

Permainan mengingat, dimana aku harus mengingat sebanyak-banyaknya informasi melawan Top Ten.

Mengingatnya tidak masalah, tapi melawan Top Tennya itulah yang menjadikan aku kejang-kejang.

Sekali lagi, aku dihadapkan pada layar digital di panggung, menunggu soalnya muncul ke permukaan, dan dalam waktu sepuluh menit, aku akan menghapal.

Sebuah daftar tabel muncul darisana. Sama seperti sebelumnya, daftar tabelnya berisi angka. Semakin bawah, angkanya kian besar. Menghapalkan bukan perkara susah semenjak aku punya Istana Pikiran. Tapi aku belum mencoba menghapalkan angka ... sebanyak lima ratus kolom.

Iya. Mereka tidak meminta aku dan Sai menghapalkan semua, melainkan menghapalkan semampunya saja, namun siapa yang lebih banyak menghapal, tentu dia pemenangnya.

Aku mencrosscheck keadaan Sai di sebelahku. Dia berdiri di mimbar, dengan mikrofon nonaktif. Dia merapalkan angka-angkanya tanpa suara. Mulutnya berkomat-kamit. Jarinya mengepal. Tapi telunjuknya melurus. Kemudian, jari tengahnya juga menjulur. Jari manis, kelingking, dan ibu jarinya pun begitu—itu hitungan. Mataku membelalak kaget. Dia sudah menghapal lima nomor secara berturut-turut, dengan hanya merapalkan angka-angkanya dalam hati.

Dalam detik-detik di putaran countdown pertama, Sai telah berhasil mengantongi lima kolom dari total lima ratus tabelnya sedangkan aku baru sampai di tahap mengobservasi lawan mainku. Aku belum sama sekali memulai.

Karena panik, aku buru-buru menatap layar digitalnya lagi, dan mempersiapkan imajinasi Istana Pikiran untuk menyimpan segudang informasi. Aku mengirimkan angka pada kolom pertama ke paviliun di dekat pohon sakura terbesar di Istana Pikiranku, yang dipagari oleh Ise Torii bercat merah dengan lampion di kanal Jingū torii-nya.

Tatkala aku tiba ke nomor lima, aku berhenti memindah-mindahkan deretan angka itu ke Istana Pikiran. Aku sadar mereka terlalu banyak jumlahnya. Sekali aku menyimpan angkanya ke laci Istana Pikiran dengan baik, aku tahu aku tidak akan sanggup melupakannya bahkan sampai turnamennya selesai, tapi angkanya tetap terlalu banyak—dan aku menemukan pola aneh.

Melalui pengelihatan selintas, aku sadar kolom-kolomnya berpola. Aku punya lima ratus kolom di sini. Nomor satu sampai sepuluh, kelihatan mencurigakan. Nomor sebelas hingga dua puluh juga angkanya mirip-mirip. Nomor dua puluh satu ke nomor tiga puluh ... kebanyakan diisi oleh bilangan mencurigakan. Ada pola.

Aku menarik napas tak tenang. Aku kecolongan start, dan aku malahan berhenti menghapal karena temuanku. Tidak punya cara lain, aku memtuskan untuk tidak menghapal, karena sangat terlambat rasanya jika aku baru menghapal sekarang. Entah sudah sampai mana Sai menghapal.

Aku berusaha memediasikan diriku sendiri dengan rasa panik. Kalau aku tidak bisa keluar dari irama jantung macam ini, aku tidak bisa berkonsentrasi. Setelah menarik napas berkali-kali dan memejamkan mata sejenak, aku kini memerhatikan kolom-kolomnya. Kolom satu, 1.098. Kolom dua, 1.116. Kolom tiga, 1.134. Kolom empat, 1.152. Kolom lima, 1.170. Kolom enam, 1.188. Kolom tujuh, 1.206. Kolom delapan, 1.224. Kolom sembilan, 1.242 dan kolom sepuluh, 1.260.

Polanya berhenti di sana, tapi ... kolom nomor sebelas sampai kolom ke dua puluh juga berpola sama. Aku berkonsentrasi mencari kejanggalan-kejanggalan pada pola pertama dulu. Selisih kolom satu dan kolom dua itu delapan belas. Selisih kolom dua dan kolom tiga ternyata delapan belas. Selisih kolom tiga dan kolom empat delapan belas. Tunggu. Semua selisih antar kolomnya delapan belas. Ini pasti bentuk perkalian ...

Aku mencoba melihat ke kolom-kolom di luar kolom satu sampai sepuluh. Di kolom kelipatan lima, angkanya juga selalu berbau nol dan lima. Bau perkalian lima tercium pekat.

Di pola kedua, aku menemukan angka 1.159, 1.178, 1.197, 1.126, 1.235, dan seterusnya. Semua selisihnya sembilan belas.

Di pola ketiga, ada angka 1.220, 1.240, 1.260, 1.280, 1.300 dan seterusnya. Semua selisihnya dua puluh.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang