Nuansa pagi ini berbeda, karena aku sedang merayakan akhir pekan di desa.
Aku tak lagi mencium semerbak pewangi rasa teh herbal yang aku gantungkan di depan front panel AC di kamar tidurku. Aku hanya menghirup oksigen segar dari pertukaran udara di ventilasi kaca nako. Lagi pun, sepertinya Si Kangkung Hijau sudah bangun, dan dia membiarkan pintu fiberglass menuju balkon terbuka lebar; angin masuk darisana, dan membelai kulit wajahku, membangunkanku dari tidur singkat pasca perjalanan panjang ke vila ini.
Aku merasakan empuknya kapuk, dan hangat dalam selimut flanel di setengah bagian tubuhku.
Bermaksud menyegarkan diri, aku merenggangkan tulang-tulang panjangku, bersiap untuk memulai hari tanpa harus terburu-buru mandi dan bersiap pergi bekerja.
Tidak ada deadline silabus, tidak ada kelas malam mikrokontroler dan perangkat lunak, tidak ada rapat bersama rektor serta dekan fakultas, tidak ada praktikum elektronika analog dasar, tidak ada jadwa sidang tesis. Menyenangkan. Rasanya memang menyenangkan, tapi itu hanya sementara. Entahlah. Karena kerasnya kehidupan, kadang aku merasa aneh, ketika aku bisa bangun pagi dan tak memiliki agenda di hari non-libur. Aku tidak terlatih menjadi pengangguran.
Pelan-pelan, aku bangkit dari posisi berbaring. Aku mengistirahatkan punggungku di sandaran kasur, dan menyelinapkan kedua kakiku ke duvet cover. Aku merasa dingin.
Dingin. Serius. Lebih dingin dari terakhir kali aku mengunjungi vila ini untuk membelinya dari makelar tanah licik tukang nilep duit.
Dua sampai tiga menit berlalu, dan aku sadar aku perlu mengecek keadaan Si Kangkung Hijau di luar sana. Kakiku beranjak turun, dan memijak granit ubatuba yang melapisi hampir keseluruhan pondasi vilanya.
Aku beranjak pergi keluar, dan memergoki Si Kangkung Hijau tidak ada dimana pun di balkon. Baiklah. Dia pasti turun melalui tangga winder yang menghubungkan balkon ini ke rumah kaca di halaman samping rumah. Ya. Tentu Si Kangkung Hijau tidak akan mengeluarkan uang untuk berfoya-foya dengan membeli seunit vila, padahal kami sudah punya rumah di Kuala Lumpur. Dia jelas-jelas mengakuisisi vila ini dari pemilik sebelumnya karena dia ingin membangun fasilitas pribadi dalam meneliti. Setidaknya udara segar di pegunungan, bisa membantunya mengembangkan proyeknya tanpa harus bolak-balik menyetorkan penelitiannya ke ASPAC—proyeknya butuh keadaan klinis seperti oksigen berkualitas tinggi, lahan luas, dan sistem pengairan.
Singapura tidak jauh. Tapi bus kota tak selalu ada, apalagi di jam-jam tertentu. Terpaksa, Si Kangkung Hijau harus membeli spot khusus agar dia bisa bekerja di rumah.
Aku berjalan menuruni anak tangga, sembari melihat-lihat ke sekeliling. Di bagian belakang vilanya, aku dapat memandangi hutan pinus merkusii. Hutan konifer campuran dimana terdapat setidaknya satu spesies pinus dan satu spesies cemara terbentang di depan barisan perbukitan hijau, perbatasan wilayah kotamadya. Pemandangannya mirip dengan lereng barat Gunung Herzl, di jalan melingkar yang mengelilingi Gunung Herzl pada Hutan Yerusalem.
Setelah sampai di undakan paling bawah, aku melengos masuk ke pintu salah satu greenhouse yang terbuka.
Benar. Si Kangkung Hijau ada di sana. Dia tengah menulis sesuatu di clipboardnya, sembari meninjau polibag dengan tanah gembur berwarna kehitam-hitaman bercampur pupuk kompos dari gabah dan sampah dapur.
Greenhouse ini menyimpan sistem hidroponik dengan media tanam berupa sponge yang sistem hidrasinya diatur oleh struktur paralon bertingkat-tingkat. Selain tanaman hidroponik, Si Kangkung Hijau juga memupuk sejumlah kentang, wortel, tomat, serta sejumlah sayuran rawan gulma.
"Pagi, Kangkung." Aku menyapa.
Si Kangkung Hijau tersentak ketika aku menyapanya.
Berada di dalam greenhouse tak menjadikan aku merasa sedikit lebih hangat. Aku mengeratkan kardigan yang kubawa tidur, dan masih terpasang di atas baju tidurku, sembari aku menghampiri Si Kangkung Hijau, dan ikut-ikutan mengobservasi bahan penelitiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri x Reader | Smart One
FanfictionDalam letusan kemarahan sebesar ledakan Krakatau, aku berteriak nyaring, sampai suaraku memekik dan serak, "Carikan aku anak paling bodoh di Malaysia, akan aku buat dia menjuarai olimpiade matematika nasional melawan anak kuliahan!"