Bab 2.

13.7K 1.4K 30
                                    

Raka meminum segelas air setelah memakan satu suap terakhir nasi dengan lauk. Perutnya telah terisi penuh, Raka bersendawa kecil. Padahal dia banyak memakan sedikit nasi, tetapi sudah sekenyang ini. Mau bagaimanapun ini adalah kebiasaan Raka.

"Lain kali, jangan telat makan sayang." Claudia menyampirkan anak rambut di pipi Raka ke belakang telinga, walaupun tentu saja anak rambut tersebut akan jatuh kembali karena pendek.

Raka menoleh kearah Claudia dan mengangguk. "Iya ibu." Setelah menjawab, dia mengambil piring serta gelas dan beranjak. Dia harus membereskan alat makannya terlebih dahulu.

"Minta susu pada Dorota, lalu kembali kesini sayang, " Tutur Claudia sebelum Raka benar-benar jauh. Jika tidak di peringatkan lebih dulu, putra angkatnya itu memilih berdiam diri dikamar.

"Huh, sampai kapan dia akan canggung kepada kita, " lanjutnya setelah Raka menghilang. Wajahnya menyendu mengingat sikap kaku Raka yang masih belum berubah sama sekali. Walaupun sudah beberapa tahun lamanya.

Aswara beranjak, dia memilih duduk bersama sang istri dan memeluk pundak Claudia ketika mendengar ucapan istrinya. "Biarkan dia berduka lebih dahulu. Kau tau bukan, bagaimana dia sebelum kesini."

Claudia memandang sang suami, dia meremat jemari Aswara yang berada di pundaknya. "Huft, aku harap dia lekas terbiasa. Kalau tidak, aku merasa bersalah pada Cherry."

Aksara mendengarkan, dia jadi teringat waktu dikamar tadi. Raka memang sangat canggung. Dia juga sadar bahwa saudara angkatnya itu merasa menjadi beban dalam keluarga Mavendra. Padahal kenyataannya tidak demikian.

"Ibu, Dorota tidak ada." Raka datang dengan tangan kosong. Dia tidak membawa susunya karena pelayan bernama Dorota tidak ada di dapur. Tidak mungkin dia membuat sendiri, karena Raka tidak tau dimana tempat susunya berada.

Claudia mendongak dan melihat Raka. Tersenyum tipis ketika menyadari ada nada merajuk di ucapan Raka. Dia pun berdiri dan beranjak. "Akan ibu buatkan, kau diam saja disini."

Raka menggeleng cepat. "Tidak usah ib- akh!"

Perkataannya harus terpotong ketika tubuhnya ditarik dan duduk di sofa oleh Karvino. "Duduk dan diam." Nada perintah yang sama sekali tak bisa Raka tolak. Maka dia duduk tanpa bersuara sama sekali.

Dia pasrah dan bersandar pada sofa. Kakinya dia selonjor kan dengan tangan yang di tumpukan pada bantal sofa. Posisinya nyaman saat ini, sangat nyaman hingga dia bersiap untuk menyelami alam mimpi kalau saja tidak ada suara pekikan yang terdengar dari luar.

"LEPASKAN!!"

Suara menggelegar yang Raka tau siapa pemiliknya.

Raka terduduk, dia membalikkan badan dan mendapati Reyhan diseret oleh Javas, ajudan keluarga Mavendra. Pemuda itu berontak ditangan Javas. Javas tak menghiraukan dan tetap melangkah menuju tuan besarnya berada.

Aswara tampak berdiri, sontak Raka membulatkan mata. Dia tak akan membiarkan ini terjadi secara dua kali. Raka tidak bisa berdiam diri dan melihat Aswara menampar hingga menendang perut Reyhan.

"Bolos sekolah dan main hingga malam! Sampai kapan kau akan bersikap kekanakan! Kapan kau melakukan hal yang membanggakan keluarga, Reyhan!" Suara rendah Aswara membuat semua yang di sana diam termasuk Reyhan.

"Kekanakan? Aku seperti ini karena ingin diperhatikan oleh ayah!" Sanggah Reyhan. Air matanya tumpah begitu saja. Tatapan tajam ayahnya selalu saja menganggu dirinya. Bahkan semua saudaranya memandang dirinya sinis.

"Jika kau ingin diperhatikan lakukan hal berguna!" Geram Aswara.

"Meski aku lakukan pun, ayah  tetap mengabaikanku! Kenapa yah! Kenapa?!! Apa karena kakek dan nenek? Mereka pergi karena takdir ayah! Mau sampai kapan ayah menyalahkanku!" Raung Reyhan. Dia sudah lepas dari kungkungan Javas.

"Mau sampai kapan ayah terjebak masa lalu? Ayah tidak pernah mengerti aku! Ayah selalu mengacuhkan aku! Terlebih karena dia!!" Reyhan menunjuk Raka yang harap-harap cemas menonton keduanya.

"Karena anak angkat seperti dia! Kalian semua semakin jauh dariku!! Apa yang bagus dari dia? Tidak ada darah Mavendra yang mengalir dari tubuh dia!!"

Plak!!

Raka meringis ketika rasa panas dan seperti kesemutan menjalar di seluruh wajahnya. Kepalanya tertoleh saat Aswara sekuat tenaga menampar dirinya. Tidak, tamparan bukan diperuntukkan dia, namun Reyhan. Tetapi Raka maju dan menjadikan diri sendiri tameng.

Aswara yang mulanya terbawa emosi lekas tersadar. Dia menarik bahu Raka dan bertanya. "Apa yang kau lakukan Raka? Kenapa kau ada disini?" Matanya melihat bekas kemerahan di pipi Raka. Terkejut karena keberadaannya

"Tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan fisik ayah. Cobalah untuk bertanya dengan benar dan tanyakan secara normal. Ayah adalah ayahnya, tentu saja dia Bersikap kekanakan dan mencari perhatian ayah, " jelas Raka. Dia melepaskan tangan Aswara dari bahunya.

Kemudian berlalu pergi mengabaikan teriakan Aswara memanggil namanya. Dia berjala menuju tangga atas. Sampai di pertengahan Raka berhenti dan menoleh ke belakang dimana semua orang menatap dirinya. "Alih-alih menyalahkan dan melampiaskan emosi pada Reyhan. Cobalah untuk memahami dirinya. Sama seperti ayah menerimaku secara gamblang, terapkan itu pada Reyhan yah."

"Ayah adalah orang dewasa. Semua orang disini juga sudah mencapai itu. Ayah tidak bisa bersikap egois kepada kambing hitam yang ayah ciptakan sendiri. Reyhan putra ayah, tidak sewajarnya seorang ayah bermain tangan dengan anak-anaknya." Selesai mengatakan hal demikian, Raka melanjutkan langkahnya.

Meninggalkan Aswara dan semua orang disana yang tengah menelaah ucapan Raka.

Claudia melihat itu, dia juga menatap ruang santai yang menjadi suram tersebut. Wanita itu berjalan mendekati putra bungsunya. "Reyhan bersihkan dirimu. Dorota akan mengantarkan makan malammu nanti. Jangan begadang, " ujarnya kemudian menepuk kepala Reyhan dua kali.

Matanya men kode Javas untuk segera pergi dari sana membawa Reyhan bersamanya. Dia pun membawa Reyhan pergi tanpa pemberontakan. Walaupun heran, Javas tetap membawanya.

Reyhan hanya terkejut, karena untuk pertama kali, Raka membantunya. Menjadi tameng untuk dirinya. Padahal dia sudah siap untuk menerima tamparan itu, namun Raka datang menolongnya.

Reyhan melirik kamar Raka ketika dia melewatinya. Samar, dia melihat bahwa Raka meringis sembari memegang pipinya. Dia mengepalkan tangan kuat. "Kenapa dia pura-pura tegar kalau kenyataannya dia lemah!" gumamnya.

"Ya tuan muda?" Sahut Javas yang merasa bahwa Reyhan berbicara dan diacuhkan oleh Reyhan.



Tbc.


Up kalau vote mencapai 200

Uncomfortable position - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang