Bab 16.

10.3K 1.1K 139
                                    

"Aku setuju pergi dari rumah karena kau bilang punya tempat cocok untuk aku tinggali. Tapi.. Tidak apartemen luas dan mewah gini!" seru Raka. Dia memijit pelipisnya melihat Edo yang masih menampilkan raut wajahnya datar.

"Kita pindah. Aku tidak ingin tinggal di sini." Raka menyeret kopernya keluar dari apartemen. Namun belum ada selangkah, ucapan Edo yang begitu mengesalkan terdengar dirungunya.

"Keluar maka akan dengan senang hati aku akan menyeretmu ke Mansion Dewangga, " ancam Edo. Dia berjalan masuk kedalam. Dia cukup percaya diri bahwa ancamannya akan berhasil.

Apartemen yang dia siapkan untuk Raka tidak memiliki ruangan lain. Jika medongak keatas, ranjang tempat Raka tidur pun terlihat dari sofa tempat dia duduk. Tentu Edo merancang khusus apartemen ini demi menjaga Raka. Memastikan bahwa Raka tak akan terlacak kecuali jika Raka diikuti.

Matanya berkilat tajam, Edo mengepalkan tangan kuat. "Ayo kita lihat, bisakah kau melacak keberadaan baby Raka, Mavendra, " gumamnya disertai senyum seringai.

Dia berdiri dan beranjak keluar, matanya melirik Raka yang menatap baju pada lemari disebelah ranjang. "Aku pergi Rak!" ujarnya sedikit berteriak supaya Raka mendengarnya. Edo pun pergi setelah mendapatkan jawaban.

Nafas Raka terdengar berat, dia tak nyaman jika Edo selalu membantunya. Raka ingin menolak, akan tetapi dua seakan tak memiliki kewajiban menolak Edo.

Raka membanting tubuhnya keranjang bersize besar. Menggerakkan tangan untuk menutup kedua matanya. Raka tidak suka ruangan luas. Karena di luasnya ruangan yang akan dia tinggali, dia hanya sendiri, memeluk sunyi yang akhir-akhir menemani.

Ketika keheningan datang, Pikiran Raka melalang kemana-mana. Hidupnya dipenuhi teka-teki. Sebab setelah beberapa hari dirinya meyakinkan diri lepas dari Mavendra, entah mengapa terasa ada yang janggal menurutnya, bahkan tentang Edo.

Raka mengerti beberapa hal dari hari terakhir, bahwa.. Semuanya tak lagi sama seperti kehidupan yang seharusnya dia lewati dimasa depan. Apakah mungkin karenanya, kehidupan kali ini memiliki efek butterfly.

Kemana harus akan membawanya. Apakah dia sanggup jika suatu waktu harus menerjang badai yang membahayakan.

Plak!

Menampar pipinya sendiri, Raka menatap lurus dengan pandangan bertekad. "Tidak, jangan goyah Raka. Meskipun kau sendiri.. Kau pasti bisa!"

Dia beranjak dari ranjangnya. Karena langsung pindah, Raka lupa bahwa dia belum mandi. Pantas saja badannya terasa tak enak. "Sepertinya aku harus mandi, " ujarnya sembari membuka kaos serta celana bawahnya.

Raka berjalan menuju kamar mandi, membuka boxer miliknya kemudian menghidupkan air hangat untuk memenuhi bathup. Muncul keringat sebiji jagung di dahinya. Dia menghidupkan shower dengan perasaan kesal.

"Apakah harus kau membuat kamar mandi transparan gini, Edo!!!" teriaknya melengking.

Hell no! Meskipun dia sendiri, tetap saja Raka merasa malu. Kamar mandi yang dia tempati sekarang benar-benar transparan. Tak ada  ruang ataupun sela yang bisa menyembunyikan dirinya didalam sana.

Oh ya Tuhan, Edo telah menjadi gila. Raka cepat-cepat menyelesaikannya. Tidak berniat berendam karena moodnya turun drastis.

Lain hanya Edo, lelaki itu terkekeh kecil mendengar teriakan Raka dari apartemen sebelah. Bola matanya memantulkan cahaya dari layar komputer miliknya. Menampilkan sosok yang sedang memakai baju dengan bibir menggerutu melampiaskan kekesalannya.

Menghirup kopinya, Edo menaikkan ujung bibir. Menyeringai kecil ketika kelinci buruannya telah masuk kedalam perangkap miliknya. Edo tak akan membiarkan kelincinya keluar dari ranahnya.

Tidak sekalipun.


*



Aswara mencermati rekaman cctv dari rumah yang dulu pernah dia berikan pada mendiang orang tua Raka. Dia fokus untuk melihat siapa yang masuk bersama putranya terakhir kali ke dalam ruang tersebut.

"Pause!" Seru Claudia. Dia pun menatap lamat sosok tersebut. Lalu, dia menjadi ingat seseorang yang setia disamping Raka ketika anak itu berada diluar. Orang yang tak pernah bisa dia lacak ataupun selidiki.

Claudia menunjuk orang itu. "Aku tau dia. Dia adalah keturunan Dewangga, " ucapnya dengan desisan marah.

Aswara sedikit terkejut mendengar jawaban istrinya. Kemudian dia juga lebih fokus dan menatap Edo. "Pantas saja Raka tidak gampang dilacak. Ternyata Dewangga muda ini yang telah menyembunyikan Raka kita."

"Aku yakin, dia jugalah yang mempengaruhi Raka untuk pergi dari rumah itu-"

Brak!

"Sial! Sepertinya, kita tidak bisa gegabah Aswara."

Aswara mengangguk, wajah seriusnya menatap lekat ke layar. "Kita harus mendekatinya perlahan. Raka juga tak akan mudah untuk didekati. Aku akan mencari cara supaya cepat bertemu dengannya."

"Kau benar... Jika kita memiliki kesempatan. Gunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Raka kita begitu polos, jadi... Aku memiliki rencana yang bagus untuk ini." Claudia tersenyum misterius. Dia sudah memikirkan rencana bagus yang akan menarik Raka kembali ke sangkar emas yang telah mereka buat.

Tanpa mereka sadari, dari luar.. Naura mendengar seluruh percakapan keduanya. Berpikir sejenak, sebelum wajahnya menggelap. Ternyata, banyak sekali orang gila yang tertarik pada kakak kesayangannya.

Sepertinya, dia harus bertindak juga. Dia tak akan membiarkan kakaknya jatuh ke tangan orang yang salah. Kakak manisnya harus menjadi miliknya.

Jika bisa, Naura akan pergi membawa Raka jauh dari negara. Mengurungnya untuk diri sendiri tak akan membiarkan orang gila ini dekat dengan kakaknya.

"Naura? Apa yang kau lakukan? Kau sudah baikan?"

Suara lain menganggu Naura. Berdecih pelan saat tau pemilik suara tersebut. Naura berbalik dan menatap tajam sosok Reyhan. "Mau dimanapun aku berada. Itu sama sekali bukan urusanmu!" hardiknya lalu melenggang pergi meninggalkan Reyhan yang menaikkan alis bingung.

"Dia kenapa sih, sensi banget keknya, " sebalnya menatap kepergian Naura.

Beralih menatap pintu, senyumnya mengembang sempurna. Dia mengetuk beberapa kali dan memanggil Aswara. Tak sabar bertemu dengan ayahnya. Ngomong-ngomong... Reyhan jadi penasaran, untuk apa Naura berdiri di depan pintu ruangan kerja ayahnya dan menampilkan wajah gelap.

"Ya-Oh Reyhan, masuk." Aswara membuka pintu, membiarkan Reyhan masuk.

Reyhan tertawa kecil, dia melangkah masuk dan mendapati ibunya tengah senyum kearanya. "Ibu!!" Di berseru kemudian lari untuk segera masuk kedalam pelukan Reyhan.

Claudia tersenyum menyambut Reyhan, tepat setelah Reyhan memeluknya. Tatapan wajahnya menjadi dingin, yang lansung berhadapan dengan tatapan daya Aswara.

Sesuai ucapan sulung mereka."Demi Raka."




Tbc.


Kalau ada typo tandai ya.. Aku bener-bener keburu dan ga ada waktu buat revisi.. Soalnya beneran sibuk...

Satu untuk hari ini, sampai jumpa lagi besok..

Uncomfortable position - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang