Bab 6.

10.1K 1.2K 26
                                    


Seorang wanita mengelus lembut rambut hitam Raka. Dia, Syahra tersenyum lembut memandang putranya. "Sayang, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?"

Raka yang semula menikmati tangan lembut ibunya sembari memeluk Syahra mendongak membalas tatapan sang ibu. "Aku mau jadi seperti ayah."

"Kenapa seperti itu?"

Raka mengangguk semangat. "Ayah keren, dia sayang sama aku, dia juga sayang sama ibu. Ayah seperti hero yang selalu membantuku mengerjakan pr, membantu ibu memasak dan memijat ibu ketika pegal, " jawabnya riang. Raka duduk dan memperagakan seolah dirinya adalah hero.

Syahra tertawa kecil, dia mencubit pipi Raka. "Manisnya putra ibu. Katakan nanti kepada ayah kalau dia sudah pulang. Ayah pasti akan senang mendengarnya."

Raka menunduk dan beringsut kembali memeluk ibunya. "Malu ibu. Jangan bilang-bilang sama ayah ya." Dia menyembunyikan wajahnya dia antara perut Syahra.

Keduanya sedang berada di ranjang, bercerita panjang lebar dengan topik yang random. Ketika suaminya pulang malam, Syahra akan mengajak Raka untuk tidur bersama dan melakukan pembicaraan panjang hingga Raka lelah dan tertidur lebih dahulu.

"Enggak ah, nanti ibu bilang sama ayah, " balas Syahra menggoda sang putra.

"Ibu~"

"Aww baiklah tidak." Syahra gemas dan langsung memeluk Raka. Wajah memelas putranya memang yang terbaik. Dia jadi takut jika sewaktu-waktu dirinya meninggalkan sang putra. Syahra tak akan pernah melihat wajah menggemaskan itu lagi.

"Sekarang tidur ya sayang. Ibu puk-puk." Raka mengangguk lalu membaringkan tubuhnya.

Sementara Syahra mengelus dahi Raka disertai alunan lagu penghantar tidur. Entahlah, walaupun putranya sudah besar, Syahra tidak pernah bisa menidurkan putranya tanpa bernyanyi. Lihat sekarang, putranya sudah terlelap dalam mimpi.

"Loh, sudah tidur? Ayah membawakan oleh-oleh, " ujar seseorang yang baru saja datang. Dito, ayah Raka itu berwajah muram. Mengangkat tinggi kresek berisi oleh-oleh yang dimaksud. Sepertinya dia pulang malam sekali.

"Ssttt.. Dia baru saja tidur." Syahra memposisikan telunjuknya di antara belah bibir. Mengkode suaminya untuk tidak bersuara keras. Dito pun mengangguk. "Kau sudah makan? Kalau belum, hangatkan lauk di dalam kulkas. Lalu mandi dan tidur bersama."

Dito pun kembali mengangguk, sebelum pergi.. Dirinya menyempatkan diri untuk mengecup dahi sang istri dan putra satu-satunya. "Aku menyayangimu, juga anak kita."

Syahra menarik kurva. "Kami juga menyayangimu ayah." Dito beranjak kebawah setelah mendengar balasan istrinya. Dia akan mandi di lantai bawah sekalian makan malam.

Dito memang pria yang hangat. Pria yang selalu menomorsatukan dirinya dan memprioritaskan putranya. Syahra merasa beruntung memiliki Dito. Wanita itu bergerak untuk tidur menyamping. Mengecup pipi Raka. "Lihat, ayah sangat menyayangimu nak."

"Tumbuhlah dengan sehat Raka. Iringi pertumbuhan kamu dengan bahagia." Syahra menyatukan dahinya dengan dahi Raka. Dia meneteskan air mata tidak percaya bahwa putranya sudah sebesar ini. Dia juga tidak tahu, mengapa harus sedih disaat bahagianya sekarang.

Syahra berniat untuk menyusul Raka kealam mimpi. Akan tetapi dirinya terganggu oleh suara bising di lantai bawah. Tidak mungkin suaminya melakukan hal gaduh seorang diri. Dia pun menyingkap selimut dan menyusul kebawah.

"Dito ada ap- DITO!!" Syahra berteriak kaget ketika tubuh suaminya terjatuh ke lantai. Sebelum itu, dia juga melihat senyuman kecil menghiasi tubuh suaminya.

"Tidak! Dito!!" Belum sempat melangkah jauh, sesuatu melesat menembus perutnya. Syahra meringis dan membungkuk. Merasakan bahwa bajunya telah bernoda merah.

Tak bisa menahan sakitnya, Syahra juga terjatuh ke lantai. Dia menangis melihat suaminya yang sudah terbujur kaku. "Dito."

Suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.  Syahra bergetar ketakutan. Sepertinya orang itu tengah merampok rumahnya. "Raka, tolong tetaplah tidur."

Syahra tidak tau bahwa pergerakan kerasnya membangunkan Raka. "Ibu." Raka memanggil ibunya yang sudah tak ada di tempat. Dia pun ikut turun kebawah menyusul sang ibu. Ayahnya juga pasti sudah datang, itu sebabnya ibunya pergi meninggal dirinya tidur sendiri.

Raka berjalan sembari mengucek mata. "Ayah, ibu."

Dor!

Raka belum tau situasinya, kakinya melangkah kecil menuju lantai bawah, dimana genangan darah sudah mengotori lantai putih itu hingga melewati sela-sela kaki Raka. "A-ayah, ibu.."

Raka sadar sepenuhnya, dia melihat pemandangan mengerikan. Ayahnya tengah tengkurap dengan punggung yang mengeluarkan darah. Ibunya masih bergerak, Syahra berjalan pelan mengabaikan rasa sakit di perutnya akibat tembakan.

"R-raka lari nak."

Tubuh Raka mendadak kaku, dia melihat pelaku tengah mendekati dirinya. Dia menangis histeris, Raka mendekati ibunya.

"Tidak Raka.. Lari nak. Lari sejauh mungkin. Kau harus selamat Raka, pergilah kekediaman Mavendra. Hikss.. Ibu menyayangimu nak." Dengan susah payah Syahra berucap. Dia menangis menatap putranya.

Apakah ini akhirnya, apakah ini jawaban atas firasat buruk dan rasa sedihnya. "LARI RAKA!!"

Dor!

"LARI-ARGH!!"

Mengabaikan rasa terkejutnya,  Raka berbalik dan melarikan diri melewati pintu belakang rumahnya. Disertai tangisan mengiris hati, Raka menguatkan diri berlari menelusuri jalanan sepi. Dia tak mengerti, baru tadi dia bermanja pada sang ibu.

Raka sampai dikediaman Mavendra, tanpa menjelaskan apa-apa. Dia hanya menangis dan meminta tolong, sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri karena shock.








"Tuan muda."

Seseorang membangunkan dirinya. Raka mengerjap pelan sebelum akhirnya membuka mata. Dia mengusap wajah yang sudah membasahi wajah. Mengigit bibir pelan ketika dia kembali memimpikan ayah dan ibunya.

Setelah sekian lama dia tak bermimpi, mimpi itu akhirnya datang karena demamnya.

"Dokter Argani. Tolong.."  Dorota memanggil dokter. Dia segera mundur membiarkan sang dokter memeriksa tuan mudanya. Dorota tak bisa untuk tak khawatir melihat kondisi Raka.

Ketakutannya ternyata benar, Raka juga terkena demam. Itu sebabnya Dorota meminta pada dokter Argani untuk mengecek keadaan Raka.

"Kemungkinan tuan muda setres akhir-akhir ini. Apakah tuan muda melakukan aktivitas berat hari ini?" tanya dokter.

Dorota mengingat-ingat. Kemudian dia menggeleng kecil. "Tapi tuan muda berenang tadi siang."

Sang dokter mengangguk. "Itu juga salah satu sebabnya. Sepertinya tuan muda memang sudah sakit sebelumnya. Namun belum disadari olehnya. Saya akan meresepkan obat. Tebus obat ini di farmasi terdekat. Untuk sementara jangan biarkan tuan muda mengkonsumsi makanan berat."

"Baik dok saya mengerti, terimakasih."



✺◟( ͡° ͜ʖ ͡°)◞✺


Tbc.

200 vote, up.

Uncomfortable position - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang