Bab 9.

9.7K 1.3K 84
                                    

Hari berganti hari dan bulan pun kian berganti.. Januari yang dipenuhi hujan lebat tergantikan oleh panasnya bukan Juni. Raka menggunakan hoodie tanpa lengan juga celana pendek diatas lutut.  Dia ingin keluar Mansion dan bertemu dengan salah satu temannya, Edo.

Di mansion tidak ada siapapun. Tentu Raka tau kemana orang-orang pergi. Karena dia sudah terbiasa ditinggal sendiri. Apalagi weekend seperti sekarang. Biasanya Mavendra akan pergi bersama tanpa membawa dirinya. Raka tidak ingin bersedih hati, maka dari itu.. Setiap weekend, Raka akan mencari kegiatannya sendiri.

Jika ada Aksa, Raka tak akan pernah merasa terlupakan. Akan tetapi, pemuda itu telah pergi bulan lalu untuk melanjutkan kuliah di  Jepang. Raka semakin terabaikan ketika Aksa tidak ada.

Raka menghela nafas pelan, mencibir Mavendra karena pergi untuk jalan-jalan bersama Reyhan. Untung saja dirinya juga akan pergi, Raka berniat membeli MacBook untuk mempermudah dirinya belajar. Dia juga bisa lebih fokus diam di dalam kamar dari pada harus menjadi saksi atas keharmonisan keluarga Mavendra.

Raka berjalan keluar Mansion, setelah pamit pada Dorota juga Javas dan menghampiri Edo yang sudah stay didepan pintu gerbang masuk.

"Lama amat," cibir Edo saat melihat Raka keluar dari pintu gerbang mansion. Sedikit kesal karena dibuat menunggu sedikit lama.

Raka terkekeh pelan. Ia naik ke jok motor belakang, lalu menepuk pundak Edo beberapa kali. "Santai bung. Ayo jalan." Mengatakan maaf karena telah membuat Edo menunggu lama.

Edo pun mengiyakan."Ke mana?" tanya Edo, menghidupkan stater motor dan siap untuk jalan. Dia melihat Raka telah memasang helm dari spion.

"Mall. Mau beli MacBook."

Setelah mengatakan itu, Edo segera mengendarai motornya menuju Mall. Menempuh beberapa menit perjalanan, mereka sampai di mall tempat tujuan. Memarkirkannya ditempat parkir, keduanya melangkah masuk ke dalam beriringan.

Memasuki Mac store, Raka mulai memilih. Memandang berbagai MacBook dengan tatapan rumit, dia harus memilih MacBook  bagus sembari bertanya-tanya pada karyawan yang sejak tadi mengikuti dirinya.

Melihat Raka yang lama memilih, membuat Edo berdecak. Tidak menyangka bahwa Raka merupakan tipe yang teliti dalam membeli sesuatu"Tinggal milih, Ka. Kayak mau milih jodoh aja." Edo bersedekap dada. Gemas dengan temannya yang berpikir keras hanya untuk MacBook.

Raka terkekeh kecil. Kemudian dia mengambil MacBook yang telah dia pilih. "Harus pilih yang cocok Edo. Ga bisa sembarangan beli. Nanti kalau ga cocok, yakali harus dikembalikan."

Keduanya pergi kekasir, untungnya tak ada siapapun. Jadinya Raka tak perlu mengantri lama. Dia segera membayar MacBook itu dengan kartu hitam. Lalu berjalan keluar dari toko tersebut.

Edo terlihat merenggangkan otot. "Huahh, enak banget." Raka menggeleng kecil, Edo Sudah seperti orang tua yang banyak bekerja.

"Padahal tidak ngapa-ngapain. Kau seperti orang tua."

"Aku tidak mau mendengar ucapan orang yang berbicara kaku seperti orang disampingku ini." Edo menyahut ledekan Raka dan berjalan lebih dulu mendahului Raka. Diikuti Raka dari belakang sedang tertawa kecil.

Langkah Raka terhenti, tawanya menjadi sumbang ketika melihat sosok Reyhan, Aswara dan juga Claudia  berada beberapa meter dari jaraknya. Pastinya ketiga manusia itu akan tertawa lepas.

Ketika merasa bahwa Raka tak mengikutinya, Edo berbalik. Dia melihat bahwa Raka menghentikan langkah dan berdiri terpaku ditempat. Edo seketika bertanya. "Kenapa?" Dia menatap lurus kedepan berharap menemukan seseorang yang dipandang oleh temannya.

"Ah?" Raka tersentak, ia menggeleng sebagai jawaban. Melangkahkan kaki mendekati Edo. "Mau makan dulu ga, Do?" Mengalihkan diri dari topik sensitif menurutnya.

Edo berwajah datar  "Kau belum menjawab pertanyaanku."

Tertawa canggung, Raka menjawab. "Aku kira melihat seseorang yang kukenal. Ternyata bukan."

Edo menaikkan sebelah alis ragu akan jawaban Raka. Tapi dja memilih mengangguk sebagai balasan, tak ingin memperpanjang perdebatan. "Baiklah. Kita ke F3. Disana ada restoran Seafood."

Segera, mereka berdua pergi ke restoran. Pikiran Raka terus terpusat pada keluarganya, fokusnya benar-benar terganggu. Ketiganya terlihat sedang asik bermain di pusat permainan. Tertawa bahagia seperti biasa tanpa menghiraukan dirinya. Sungguh, Raka benci posisinya saat ini.

Terlebih, Aswara kerap kali marah ketika dia tanpa sengaja membuat masalah yang bersangkutan dengan Raka. Menuntut nilai  sempurna darinya. Terkadang mengatakan bahwa dia harus punya nilai bagus untuk diakui sebagai Mavendra.

Pria itu telah berubah, pun Claudia. Wanita lembut yang sangat menyayangi dan bersikap seakan dia siap hancur kapan saja tak pernah memikirkan dirinya. Terkadang menyiapkan makanan kesukaan Reyhan yang menjadi alergi baginya.

"Kau benar-benar tak apa kan Rak?"

Raka kembali dari lamunan, dia terkesiap mendengar nada bicara Edo yang datar. Akan tetapi Raka tau bahwa Edo hanya khawatir padanya. "Iya, lebih baik kita cepat. Aku sudah lapar." Gantian Raka mendahului Edo.

Biarlah Raka menikmati hari bersama Edo, sementara Reyhan bersama keluarganya.

***

Raka menambah tulisan di catatannya. Berisikan tentang masa depannya setelah berpikir bahwa misinya telah usai. Reyhan sepenuhnya menjadi kesayangan. Raka tak bisa lagi untuk singgah ketika dia bukan bagian Mavendra.

Raka tak ingin menjadi beban keluarga dan memakai segala sesuatu yang diberikan oleh Mavendra. Tidak lagi. Selain tak ingin menjadi tidak tau diri, Raka menolak untuk makan hati.

Rencananya kali ini sudah dia pikirkan secara matang. Raka akan pergi menjauh dari Mavendra. Hidup sendiri dan bekerja untuk dirinya sendiri. Dia tak mau ditekan atau hidup menyiksa diri hanya untuk sebuah nilai.

Toh, dia sudah total diabaikan. Terlupakan dan tak dihiraukan. Misinya pun telah usai. Tak ada lagi alasan Raka untuk tegal tinggal.

Pergi merupakan keputusan yang menurut Raka tepat. Dia akan tinggal di rumahnya yang lama. Raka juga telah mendapatkan kerjaan menjadi pelayan Cafe milik keluarga Edo. Karena Raka sudah merencanakan hal tersebut dari jauh-jauh hari.

Raka juga memutuskan untuk berhenti sekolah. Tak mungkin baginya meneruskan sekolah ketika untuk biaya hidup saja dia harus bekerja. Apalagi sekolah yang ditempatinya memiliki biaya besar. Tentu saja gajinya saja tak akan cukup untuk membayar.

"Tinggal mengatakan pada paman Aswara, maka semuanya selesai."

Raka beranjak, dia berjalan kearah ruangan yang terisi akan semua baju-bajunya. Di sudut sana sudah ada satu koper berisi pakaian dan beberapa benda miliknya. Raka membuka koper tersebut untuk memasukkan buku kedalam.




To be continued...



Hahh~~

Uncomfortable position - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang