Kecewanya Adara

738 56 8
                                    

Sudah dua minggu ini Adara tak mendengar kabar apa pun dari Afan. Padahal, Afan sendiri yang berjanji akan menemuinya hari ini. Adara duduk di bangku depan meja rias, menatap bayangan wajahnya di cermin. Pikirannya melayang-layang, mengingat kembali momen ketika Afan mengungkapkan perasaannya sebulan yang lalu—perasaan yang hingga kini masih belum ia beri jawaban karena keraguannya terhadap ketulusan Afan.

Flashback On

Hari itu, senja perlahan turun, memberikan kehangatan pada taman yang sudah dihias cantik oleh cahaya lampu taman. Adara mengikut langkah Afan yang membawanya ke tengah taman, tempat yang tampak begitu indah dengan bunga-bunga bermekaran di sekeliling mereka. Afan berhenti di tengah, dan Adara melihat sebuah meja kecil di depannya, dengan sebuah buket mawar merah yang terletak di atasnya. Di sebelahnya, ada sebuah kotak cokelat yang diikat dengan pita merah.

Afan berbalik, menatap Adara dengan senyuman penuh arti. "Adara," ujarnya lembut, "Aku sudah lama menyimpan perasaan ini. Dan hari ini, aku ingin mengungkapkannya."

Afan mengambil buket mawar merah dari meja dan menyerahkannya kepada Adara. "Ini, Adara, adalah simbol dari perasaanku yang tulus padamu. Jika kamu menerima perasaanku, menerima aku sebagai kekasihmu, ambillah buket ini."

Kemudian Afan meletakkan buket itu kembali di meja dan mengambil kotak cokelat. "Dan ini," katanya sambil menatap Adara dengan mata yang penuh harap, "jika kamu menolakku, ambillah cokelat ini. Aku akan mengerti dan menghargai keputusanmu."

Adara memandang kedua pilihan itu dengan perasaan campur aduk. Ia menatap buket mawar yang melambangkan cinta, dan kemudian cokelat yang melambangkan penolakan. Pikirannya penuh dengan keraguan—apakah Afan benar-benar tulus? Apakah ia siap untuk memulai hubungan yang lebih serius dengan Afan? Keraguan itu semakin berat di hatinya, hingga akhirnya ia menatap Afan dengan tatapan bingung.

"Aku... aku butuh waktu," ujar Adara pelan, menundukkan kepala. "Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini, Afan. Bukan karena aku tidak menghargai perasaanmu, tapi karena aku ingin memastikan bahwa aku membuat keputusan yang tepat, baik untuk kita berdua."

Afan tersenyum, meski ada sedikit kekecewaan yang terlihat di matanya. "Aku mengerti, Adara. Aku akan menunggu jawabanmu. Tapi ingat, berapa pun lama waktu yang kamu butuhkan, aku akan selalu ada di sini untukmu."

Flashback Off

Kini, dua minggu telah berlalu sejak Afan menghilang tanpa kabar. Adara memegang cincin kecil di jarinya, memutar-mutar sambil merenung. Apakah Afan masih menunggunya, atau apakah perasaan itu telah memudar seiring waktu? Hanya waktu yang bisa menjawab, tapi di dalam hatinya, Adara tahu bahwa hari ini adalah hari yang akan mengubah segalanya.

Adara menatap sebuah foto lama yang terselip di antara halaman buku, foto yang memperlihatkan dirinya, Naura, dan Afan. Foto itu diambil bertahun-tahun lalu, namun baru sekarang Adara menyadari sesuatu yang selama ini luput dari perhatiannya—tatapan Afan pada Naura begitu dalam dan penuh arti. Seolah-olah, di dalam sorot matanya, Afan menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar teman.

"Aku sebenarnya sudah tahu, Fan... Kalau kamu sebenarnya menyukai Naura, tapi kamu kalah cepat dengan sahabatmu sendiri," batin Adara, menekan perasaan yang selama ini ia pendam.

Lamunan Adara buyar saat ponselnya berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Harapannya sejenak melonjak, berharap itu pesan dari Afan yang sudah lama tak memberi kabar.

"Naura? Tumben," gumam Adara, agak heran.

Adara segera membuka pesan tersebut dan membaca isinya.

"Dar, lo mau ketemu Afan kan? Gue tahu lo pasti udah lama nggak ketemu sama dia. Besok jam 9 pagi datang ke rumah gue. Nanti gue bawa lo ke Afan."

MAS RAKHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang