Rakha pulanglah

439 75 22
                                    

“Naura, tunggu!” suara Rasya menggema, menghentikan langkah Naura yang hampir melewati pintu.

Naura berbalik, matanya menyiratkan kebingungan dan kekecewaan yang mendalam. Pria di hadapannya berdiri kaku, wajahnya tegang seolah menahan beban yang tak terlihat.

“Aku minta maaf,” ucapnya parau, seolah kata-kata itu mencakar tenggorokannya. “Kamu benar... aku memang bukan Rakha.”

Jantung Naura berdentum keras, seakan waktu berhenti sejenak. “Maksud kamu apa?” bisiknya, napasnya tercekat.

Rasya menunduk, menarik napas panjang, berusaha mengendalikan gemuruh di dadanya. “Aku sangat bersyukur kamu sudah menyelamatkanku, merawatku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku ke Bali untuk pekerjaan yang baru kudapat, tapi aku hanya orang desa yang datang mencoba nasib. Aku baru tinggal di Bali empat bulan.”

Kening Naura berkerut, campuran kemarahan dan ketidakpercayaan melingkupi dirinya. “Desa? Jadi, kamu benar-benar bukan Rakha?” tanya Naura dengan suara yang semakin merendah namun bergetar penuh emosi.

Rasya menelan ludah, kesedihan terpatri di wajahnya. “Ayahku hanya petani kecil, ibuku bekerja serabutan—mencuci dan memasak di rumah tetangga untuk menyambung hidup. Aku tahu ini semua tampak gila, tapi itu kenyataannya.”

Air mata mulai membasahi mata Naura, membasuh sisa harapan yang masih tertinggal. “Kalau begitu... siapa kamu sebenarnya?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.

“Namaku Rasya,” sahut pria itu dengan suara berat, seolah setiap huruf melukai hatinya.

Naura menatap Rasya dengan mata yang tak percaya. Wajahnya, senyum itu, garis rahangnya—semua adalah potret hidup dari suaminya, Rakha. Tetapi kenyataan yang baru saja ia dengar membuat semua terasa salah.

“Tapi kenapa wajahmu... kenapa kamu begitu mirip dengan Rakha? Kenapa nggak ada yang bisa kubedakan?” Naura bertanya dengan suara lirih, hampir seperti sebuah doa yang memohon jawaban.

Rasya mendesah panjang, matanya berkabut oleh penyesalan. “Aku nggak tahu. Sejak sadar di rumah sakit, semua orang memanggilku dengan nama Rakha. Aku merasa terjebak, tertekan. Aku berpura-pura... karena aku takut, Naura. Takut mengecewakanmu, takut kehilangan satu-satunya orang yang menganggapku berarti.”

Rasa sakit dan kemarahan bercampur dalam dada Naura, membuatnya sulit bernapas. “Kamu seharusnya jujur dari awal, Rasya. Kalau kamu jujur, aku masih bisa mencari Rakha. Sekarang... bagaimana kalau Rakha benar-benar hilang? Bagaimana kalau dia sedang berjuang sendiri dan aku tidak ada di sana untuknya?” Suaranya semakin meninggi, meluapkan seluruh kekecewaan yang tertahan.

“Aku tahu, aku salah. Aku egois, aku bingung, tapi aku nggak pernah ingin menyakitimu,” ujar Rasya, matanya berkaca-kaca. “Aku hanya ingin menemukan siapa diriku sebenarnya.”

Hening menyelimuti ruangan, menyisakan hanya bunyi napas Naura yang berat. Rasa dikhianati dan patah hati menguasai dirinya. Tapi dalam hatinya, keyakinan mulai tumbuh kembali—sebuah tekad untuk mencari Rakha, menemukan kebenaran, dan memperjuangkan cintanya yang sesungguhnya.

"Rasya? Kamu lahir kapan?" tanya Naura dengan sorot mata penuh harap, mencari kepingan teka-teki di balik cerita yang rumit ini.

"16 Agustus 2000," jawab Rasya pelan, seakan menggali ingatannya yang paling dalam. Dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya mulai bergetar. "Orang tua angkatku selalu bilang bahwa aku ditemukan di tepi sungai, masih bayi, dengan secarik kertas di tangan. Di kertas itu tertulis tanggal lahirku dan sebuah alamat."

Naura terdiam, memproses setiap kata yang baru saja didengarnya. "Jadi... mereka bukan orang tua kandungmu?" tanyanya, nyaris berbisik.

Rasya menggeleng perlahan, matanya redup. "Bukan. Mereka selalu jujur bahwa aku bukan anak kandung mereka. Di kertas itu, selain tanggal lahir, ada alamat yang berada di Jakarta. Makanya, sejak aku pindah ke sini, aku berusaha mencari tahu siapa sebenarnya keluargaku. Tapi sampai sekarang, semua masih teka-teki."

MAS RAKHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang