Pukul 9.20 pagi, Naura telah selesai menyiapkan sarapan. Meskipun sedikit terlambat, ia ingin memastikan Rakha mendapat makanan bergizi, terutama untuk pemulihan kondisinya.
Rakha muncul di dapur, memandangi meja makan yang telah tertata rapi. “Kamu masak?” tanyanya datar, tanpa ekspresi yang biasanya lembut dan hangat.
Naura tersenyum tipis, mencoba mengusir kecanggungan yang terasa. “Iya, biar kamu ada energi. Kamu suka, kan?”
Rakha mengangguk sekilas, tapi sorot matanya terlihat kosong. “Kamu kan lagi hamil. Setahuku, ibu hamil nggak boleh terlalu banyak aktivitas. Harusnya kamu istirahat aja,” ujarnya dengan nada dingin, membuat Naura terdiam sejenak.
Naura berusaha tetap tenang dan menenangkan hatinya yang terasa tersayat. “Nggak apa-apa kok, aku baik-baik aja,” ucapnya sambil menggandeng tangan Rakha dengan lembut, berharap kehangatannya bisa sedikit melembutkan hati Rakha.
Namun, Rakha perlahan menarik tangannya dari genggaman Naura, membuat Naura kembali merasa canggung dan sedikit terpukul. “Maaf, aku nggak sengaja,” ucapnya pelan, tersenyum kaku sambil melepaskan tangannya.
Rakha hanya menatapnya tanpa banyak bicara, lalu berjalan menuju meja makan dan duduk, seolah sedang menjaga jarak dari Naura. “Kamu duduk aja, aku buatin teh hangat dulu,” ujar Naura, mencoba mengalihkan perasaan yang mulai berkecamuk dalam hatinya.
Namun, saat ia menyiapkan teh, ia mencuri pandang ke arah Rakha, yang terlihat jauh berbeda dari sosok yang dulu ia kenal. “Rakha jadi dingin banget…,” batinnya dengan hati yang terasa pedih. “Seolah-olah dia kehilangan dirinya sendiri. Aku… nggak pernah lihat sikap Rakha yang sedingin ini.”
Naura menarik napas dalam, berusaha tetap tenang meski dadanya terasa sesak. Di balik keheningan dan jarak yang tercipta, ia berjanji akan tetap ada di sisi Rakha, bahkan jika Rakha kini adalah sosok yang seakan asing baginya.
“Ini tehnya,” ujar Naura sambil menyodorkan secangkir teh hijau hangat ke hadapan Rakha. Harapannya sederhana, mungkin aroma teh yang akrab ini bisa membangkitkan kenangan dalam ingatannya.
Rakha menatap teh itu dengan ekspresi bingung. “Ini apa?”
“Teh hijau,” jawab Naura sambil tersenyum lembut. “Dulu kamu selalu minum teh ini tiap pagi. Katamu, aroma dan rasanya bikin kamu lebih tenang.”
Rakha mengangguk pelan, tanpa menunjukkan reaksi yang diharapkan Naura. Ia memutar cangkirnya perlahan, seakan berusaha mencari ingatan yang hilang di balik kenangan yang samar.
Naura mengalihkan pandangannya ke meja makan, mencoba menyembunyikan kekecewaan yang mulai terasa. “Ya sudah, ayo kita makan,” ajaknya, suaranya tetap lembut meski hatinya berharap Rakha dapat merasakan hangatnya hubungan yang pernah mereka miliki.
Rakha mengambil sendok dan mulai makan dalam diam. Sambil memperhatikan Rakha, Naura pun menyendok makanannya sendiri, namun sulit baginya untuk menikmati setiap gigitan. Kehadiran Rakha terasa dekat tapi jauh—sosok yang sama, namun tak lagi mengenalinya.
Sambil memandangi Rakha yang diam tanpa banyak bicara, Naura membatin, "Aku akan sabar, Rakha. Meski kamu tak ingat siapa aku sekarang, aku akan tetap di sini, menunggumu kembali."
Air mata Naura perlahan jatuh, membasahi pipinya dan membuat setiap suapan sarapannya terasa lebih asin. Ia menyeka pipinya yang basah dengan cepat, berusaha menyembunyikan kesedihannya di depan Rakha, meskipun sulit.
Rakha melihat sekilas, lalu kembali fokus pada makannya. Suasana canggung yang membungkus mereka seperti tembok tebal yang tak bisa ditembus.
Dengan suara lirih, Naura mencoba memulai pembicaraan. “Setelah ini… kamu mau ke mana?” tanyanya pelan, seolah takut mendengar jawabannya.
Rakha menatap piringnya sejenak sebelum menjawab dengan datar, “Aku belum tahu.”
Jawaban itu membuat hati Naura semakin perih. Dulu, ia selalu tahu ke mana Rakha akan pergi, atau hal-hal kecil yang membuatnya nyaman. Namun kini, pria di depannya tampak seperti orang asing, sosok yang dulu dicintainya kini tak lagi menyadari ikatan mereka.
“Kalau gitu… mungkin kamu bisa istirahat dulu di sini,” ucap Naura, suaranya nyaris berbisik namun penuh harap. “Siapa tahu… bisa bantu kamu ingat sedikit demi sedikit.”
Rakha hanya mengangguk pelan, tanpa menanggapi lebih jauh. Bagi Naura, bahkan satu anggukan itu terasa seperti secercah harapan yang mulai menyala di antara bayang-bayang keraguan. Dia menggenggam tangannya sendiri di bawah meja, mencoba menahan air mata yang nyaris kembali jatuh.
“Aku masih di sini, Rakha… menunggumu kembali,” batin Naura dengan tekad yang kuat.
Rakha menatap Naura dalam diam. Ada perasaan hangat yang tumbuh, sesuatu yang terasa akrab dan mengisi kekosongan di hatinya. Namun, bayang-bayang ingatan tetap buram, menolak untuk kembali.
"Aku bisa merasakan cintanya... tapi kenapa aku gak bisa ingat apapun?" batinnya, bingung dan frustrasi.
Tiba-tiba, Naura memegangi perutnya dan menutup mulutnya rapat-rapat. Wajahnya sedikit pucat, dan ia terlihat berusaha menahan rasa tidak nyaman yang mendadak menyerang. Rakha, yang memperhatikan perubahan mendadak itu, langsung beranjak dari kursinya.
"Naura, kamu kenapa?" tanyanya panik, menghampiri dan memegangi pundak Naura.
Naura menggeleng pelan, mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih tampak pucat. "Aku… aku gak apa-apa, Rakha. Ini cuma… morning sickness aja."
Rakha mengerutkan kening, kebingungan namun masih cemas. “Kamu yakin? Apa perlu aku panggil dokter?”
Naura menepis pelan kepanikannya. “Gak usah, Rakha. Ini hal yang normal buat ibu hamil.” Ia tersenyum tipis, walaupun wajahnya masih tampak lelah. “Nanti juga hilang kok… cuma perlu istirahat sebentar.”
Rakha merasa tak berdaya. Dia ingin membantu, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukannya. Dia merasa asing terhadap semua ini, bahkan terhadap peran barunya sebagai calon ayah. Namun, melihat Naura yang berusaha kuat di depannya, perlahan dia menyadari bahwa wanita ini begitu berarti, meski ingatannya belum kembali.
“Kalau gitu… ayo kita duduk di sofa, biar kamu bisa istirahat,” ucap Rakha lembut, membimbing Naura dengan hati-hati.
Saat mereka duduk, Naura bersandar di bahu Rakha, dan dia membiarkan dirinya menikmati momen itu, walau samar. Rakha menatap wajahnya, mengusap lembut punggung Naura, bertekad untuk berusaha lebih keras mengingat apa yang terlupa.
Rakha menatap Naura yang tertidur di pundaknya, napasnya yang lembut dan wajah tenangnya membuat hati Rakha semakin bimbang. Dalam hatinya, terbersit rasa bersalah yang tak terungkap.
"Naura, aku minta maaf..." batinnya, ingin merasakan kembali apa yang telah hilang.
Perlahan, tangan Rakha terulur, ingin mengelus rambut panjang Naura yang jatuh rapi di bahunya. Namun, ia ragu dan membatalkan niatnya saat melihat Naura mulai terbangun. Matanya yang sayu perlahan terbuka, dan ia menyadari bahwa dirinya tertidur di bahu Rakha.
"Eh, maaf ya… aku ketiduran," ujar Naura dengan suara pelan, masih sedikit lelah.
Rakha tersenyum samar, menahan rasa hangat di dadanya. "Gak apa-apa. Kamu pasti capek."
Naura tersenyum kembali, mencoba membangkitkan semangat. "Terima kasih, Rakha."
Rakha berdiri dan menepuk lembut tangan Naura. "Kamu tunggu sini sebentar, aku ambilkan air minum biar kamu lebih segar."
Naura mengangguk, mengamati langkah Rakha yang berjalan ke dapur. Hatinya berharap, mungkin, dalam setiap tindakan kecilnya, Rakha bisa menemukan secercah ingatan mereka.
To Be Continued
segini dulu yaaa lanjut next day guyssss
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS RAKHA
Fiksi RemajaGadis ini Bernama Amala Naura Azzahra Seorang gadis penuh keceriaan,penuh impian, Naura paling bisa Gadis yang sangat amat handal dalam menyembunyikan kesedihannya, kesakitannya, Naura si pencari suasana siapapun yang baru mengenal nya akan disambut...