"Nih, minum dulu," ujar Rakha, menyodorkan segelas air ke Naura dengan senyum tipis.
Naura menyesap air itu sebentar lalu berkata, "Oh ya, kata dokter, kamu itu nggak hilang ingatan sepenuhnya. Artinya kamu masih ingat sedikit-sedikit dong tentang apapun yang ada dalam hidup kamu?"
Rakha terlihat berpikir sejenak. "Hmm, iya… aku ingat samar-samar. Kayaknya aku bukan orang yang berada. Ini pertama kalinya aku ngerasain tinggal di apartemen mewah… dan tiba-tiba punya istri."
Naura tersenyum kecil, tapi segera mengernyitkan dahi. "Tunggu, hidup nggak berada? Aneh, Rakha. Kamu itu dari kecil hidup bak pangeran. Nggak mungkin nggak berada."
Rakha hanya diam, menatapnya dengan pandangan kosong, seolah sedang mencoba memahami kata-katanya.
"Kamu kenapa diem?" tanya Naura lembut, berusaha mencari jawaban di wajah Rakha.
Rakha menarik napas panjang, menatap lurus ke arah Naura. "Aku nggak tahu... mungkin aku masih kebingungan dengan apa yang kamu bilang. Rasanya seperti ada dua kehidupan yang berbeda, dan aku bingung mana yang nyata."
Naura menatap Rakha dengan penuh harap, seolah menunggu serpihan kenangan Rakha yang hilang itu muncul kembali.
"Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat dulu. Aku mau ke rumah Adara, sahabatku," ujar Naura dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya.
Rakha mengangguk pelan. "Oke, hati-hati di jalan."
Naura meraih tas dan kunci mobilnya, memastikan semuanya siap. Sebelum pergi, dia melirik Rakha sekali lagi, berharap ada sesuatu di mata suaminya yang bisa membawanya pulang ke kenangan lama mereka. Namun, Rakha hanya duduk diam, menatap kosong ke arah jendela dengan pandangan yang jauh.
Naura menahan napas sejenak, lalu menghela napas panjang. Dia tahu, proses ini tidak mudah, tapi dia harus tetap kuat. Dengan langkah mantap, dia berjalan keluar dari apartemen, menutup pintu pelan agar tidak mengganggu Rakha yang sedang beristirahat. Mesin mobil menyala, suara deru halusnya memecah keheningan pagi.
Sepanjang perjalanan ke rumah Adara, pikiran Naura berkecamuk. Ia berharap Adara bisa memberinya semangat dan nasihat yang menenangkan, seperti biasanya. Setibanya di rumah Adara, ia memarkir mobil dengan rapi dan mengetuk pintu, menunggu sahabatnya itu membuka dan menyambutnya dengan senyum hangat yang selalu ia rindukan.
"Naura, ada apa? lo kelihatan nggak tenang," sapa Adara begitu pintu terbuka.
Naura tersenyum tipis, berusaha menahan air matanya. "gue butuh cerita, Dar. Ini semua terlalu berat untuk gue hadapi sendirian."
"Selama Rakha hilang ingatan, lo udah ketemu dan ngobrol sama dia, kan?" tanya Naura sambil menghela napas panjang, menatap Adara dengan pandangan penuh harap.
Adara mengangguk pelan. "Udah. Beberapa kali, malah."
"Terus, apa yang lo rasain waktu ngobrol atau ngelihat dia?" Naura bertanya dengan nada penasaran, mencoba mencari jawaban di balik mata sahabatnya.
Adara terdiam sejenak, memikirkan kembali momen-momen itu. "Kayak... kayak bukan Rakha yang gue kenal, Nau," ujarnya pelan.
Naura mengerutkan kening. "Maksud lo?"
"Begini, Nau, waktu lo nitipin Rakha di rumah sakit, gue sempet nemenin dia cukup lama. Kita ngobrol banyak. Tapi, rasanya aneh. Kayak gue lagi ngobrol sama orang lain yang pakai wajah Rakha. Dia kelihatan normal, nggak kayak orang yang lupa ingatan. Tapi, cara dia bicara, gesturnya... beda banget," jelas Adara dengan raut wajah serius.
Naura mengangguk, mulai mengerti maksud Adara. "Gue juga ngerasa begitu, Dar. Barusan gue nanya dia tentang ingatan yang masih dia punya soal hidupnya, dan lo tau apa yang dia jawab? Dia bilang dia bukan orang berada, dan baru pertama kali ngerasain tinggal di apartemen. Lo bayangin, Rakha yang kita kenal, hidupnya selalu berkecukupan sejak kecil. Bukankah itu aneh banget?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS RAKHA
Novela JuvenilGadis ini Bernama Amala Naura Azzahra Seorang gadis penuh keceriaan,penuh impian, Naura paling bisa Gadis yang sangat amat handal dalam menyembunyikan kesedihannya, kesakitannya, Naura si pencari suasana siapapun yang baru mengenal nya akan disambut...