Temu Rindu

467 68 26
                                    

"Rakha..." bisik Naura, suaranya bergetar penuh emosi. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipinya saat ia menatap wajah pria yang selama ini dicarinya tanpa henti. Sosok itu tampak lemah, dengan wajah pucat dan bibir kering.

"Rakha, tolong bangun..." Naura mengguncang bahunya perlahan, suaranya semakin serak dipenuhi harapan dan kekhawatiran. "Ini aku, Naura... kamu dengar aku, kan? Bangunlah, Rakha, aku di sini."

Hening sejenak menyelimuti, hanya suara angin yang menderu lembut di antara dedaunan dan gemuruh ombak yang samar terdengar dari kejauhan. Detik-detik berlalu seolah melambat, menciptakan jarak yang terasa abadi di antara mereka.

Naura mendekatkan wajahnya, memastikan ada napas yang keluar dari pria itu. Jantungnya mencelos saat merasakan hembusan kecil yang hangat menyentuh kulitnya. "Kamu hidup," katanya lirih, suaranya dipenuhi rasa lega dan keajaiban.

"Rakha, aku mohon, buka mata kamu. Aku sudah terlalu lama mencari, terlalu lama berharap. Jangan biarkan aku sendirian lagi..." ujar Naura, isaknya pecah, suaranya lirih dan patah-patah.

Satu gerakan kecil dari kelopak mata Rakha membuat hati Naura melompat. Jemarinya menggenggam tangan Rakha erat, seolah mencoba mengisi pria itu dengan semangat dan cinta yang tak pernah pudar.

“Hei? Kamu kenapa bisa ada di sini, sih? Kenapa kamu selalu bikin aku khawatir setengah mati?” suara Naura terdengar serak, campuran antara kekesalan dan kelegaan. Air mata masih menetes, namun senyum samar mulai muncul di bibirnya.

Rakha mengerjapkan matanya perlahan, pandangannya kabur sebelum akhirnya fokus pada wajah yang begitu dikenalnya. “Naura...” suaranya lemah, nyaris hanya bisikan. Namun, itu cukup untuk menghancurkan tembok kekhawatiran yang mengurung hati Naura selama ini.

Naura menghela napas dalam, merasakan dadanya sesak oleh emosi yang bercampur aduk. “Kamu tahu nggak, betapa aku mencarimu? Betapa aku berpikir nggak akan pernah bisa lihat wajahmu lagi?”

Rakha tersenyum lemah, sudut bibirnya terangkat meski tubuhnya masih tampak lelah. “Maaf, aku... membuatmu cemas.”

Naura menggenggam tangan Rakha lebih erat, seolah berusaha mentransfer segala kekuatan dan kehangatan yang dimilikinya. Tanpa ragu, ia menarik tubuh Rakha ke dalam pelukannya, merasakan detak jantung yang sempat ia kira tak akan pernah didengarnya lagi. Air mata menetes tak tertahankan, mengalir di pipinya.

“Kamu nggak perlu minta maaf, sayang,” suaranya bergetar, dipenuhi rasa bersalah. “Aku yang seharusnya minta maaf. Aku ceroboh, aku mengambil keputusan tanpa mencari tahu yang sebenarnya. Aku menyelamatkan seseorang yang aku bahkan nggak tahu siapa dia, sementara kamu... kamu menderita sendirian di sini, tanpa ada yang menolong. Maafkan aku, Rakha,” bisiknya lirih.

Rakha, yang terkejut dengan pengakuan Naura, perlahan melepaskan pelukan itu dan menatap wajah istrinya dalam-dalam. Wajah yang ia rindukan setiap detik sejak perpisahan mereka. Tangannya terangkat, menghapus air mata yang membasahi pipi Naura, sentuhannya lembut namun penuh ketegasan.

“Dengar aku, Naura,” katanya pelan namun tegas, tatapannya tidak lepas dari mata Naura. “Di mata aku, kamu nggak pernah salah. Ini semua adalah musibah yang nggak bisa kita prediksi. Tuhan masih begitu baik, karena akhirnya kita bisa bertemu lagi setelah semua ini.”

Naura menggenggam tangan Rakha lebih erat, memohon dengan mata yang penuh harap. “Tolong, hidup lebih lama ya, Rakha. Aku belum siap kehilangan kamu. Apa pun yang terjadi, bertahanlah. Aku akan ada di sini, berjuang bersamamu.”

Rakha tersenyum lemah, namun sorot matanya menunjukkan tekad yang kuat. “Aku janji, Naura. Selama kamu di sisiku, aku akan bertahan sekuat tenaga. Kita akan melewati ini bersama.”

MAS RAKHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang