Kebimbangan

768 73 10
                                    

"Sudah, lukanya udah aku obatin. Kalau gitu, aku pergi dulu," ujar Adara dengan nada datar, mencoba menahan emosinya agar tak meledak.

Namun, sebelum dia sempat berbalik, suara Afan menghentikannya. "Adara, tunggu!" serunya, penuh dengan rasa putus asa. "Mungkin percuma juga aku mohon-mohon sama kamu. Aku tahu... kamu nggak akan pernah maafin aku."

Adara terdiam sejenak, menatap Afan dengan pandangan penuh kekecewaan. "Fan, aku nggak pernah punya dendam sama kamu," suaranya bergetar, tapi ia tetap tegar. "Aku juga udah maafin kamu. Tapi yang bikin aku kecewa... semua hal yang kita lakuin dulu, semua yang kita bagi, aku rasa itu cuma jadi bagian dari rencana kamu aja. Semua kenangan itu, aku yakin nggak ada satu pun yang berarti buat kamu. Dan yang paling menyakitkan, seharusnya dari awal aku nggak perlu berharap apa-apa dari kamu. Sejak kita berteman, aku tahu... kamu cintanya bukan sama aku, tapi sama Naura."

Afan menunduk, air mata mulai membasahi wajahnya. "Adara... sudah berbulan-bulan sejak aku memutuskan segalanya. Aku bukan lagi Afan yang kamu kenal. Sekarang aku cuma seorang karyawan biasa. Aku nggak punya apa-apa lagi untuk dipamerkan atau dibanggakan. Aku cuma... aku cuma ingin kamu."

Adara menggeleng, mencoba menahan isak tangisnya. "Fan, hidup ini bukan tentang berlomba-lomba siapa yang paling baik atau siapa yang paling buruk. Hidup ini tentang bagaimana kita menghargai orang lain, tentang bagaimana kita menjaga perasaan orang yang kita sayang. Dan kamu... kamu udah menghancurkan semua itu."

Mata Afan penuh kesedihan. "Aku tahu, Dar. Aku tahu aku salah, aku tahu aku nggak layak buat kamu... tapi tolong beri aku satu kesempatan lagi. Aku berjanji, aku akan berubah. Aku akan memperbaiki semuanya."

Adara menutup matanya, menahan air mata yang mulai mengalir. "Kesempatan? Kesempatan untuk apa, Fan? Buat menyakiti aku lagi? Aku udah terlalu sering berharap sama kamu, dan setiap kali, kamu selalu bikin aku kecewa."

Afan berlutut di hadapan Adara, air mata tak henti-hentinya mengalir. "Aku nggak punya apa-apa lagi, Adara. Kalau kamu nggak kasih aku kesempatan ini, aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Tolong... jangan tinggalkan aku lagi."

Adara memandang Afan yang terpuruk di hadapannya, hatinya bergetar. Ia tahu bahwa cintanya yang dulu untuk Afan sudah hancur. Namun, melihat pria itu kini, begitu rapuh dan penuh penyesalan, ia tak bisa lagi menahan tangisnya.

"Afan...," ujarnya, dengan suara bergetar, "aku nggak bisa lagi." Ia berbalik, melangkah pergi meninggalkan Afan yang masih berlutut, meninggalkan masa lalu yang penuh luka dan rasa sakit.

Di balik air mata yang jatuh, Adara menyadari satu hal: mungkin dia pernah mencintai Afan, tapi sekarang, dia lebih memilih untuk mencintai dirinya sendiri.

📍 **Apartemen Naura dan Rakha**

Rakha dan Naura baru saja sampai di depan pintu apartemen mereka. Udara pagi yang sejuk terasa begitu hangat di sekitar mereka, namun di antara keduanya, ada rasa manis yang lebih mendalam.

Rakha menatap wajah istrinya dengan penuh cinta. "Sayang, aku pamit kerja dulu ya. Kalau ada apa-apa atau kamu pengen sesuatu, kabarin aku, oke? Jangan tunggu-tunggu. Aku mau kamu selalu nyaman," ucapnya lembut, suaranya penuh perhatian.

Naura tersenyum manis, tangannya mengusap lembut perutnya yang membuncit. "Tenang aja, Rakha. Aku baik-baik aja kok," ujarnya dengan nada menenangkan.

Tiba-tiba, tanpa diduga, Rakha berlutut di hadapan Naura. Ia menatap perut istrinya dengan penuh kasih, lalu dengan lembut membelainya. "Hai, anak papa..." bisiknya penuh rasa sayang. "Papa pamit kerja dulu, ya. Kamu sehat-sehat di dalam sana, temenin mamah kamu. Nanti kalau papa pulang, papa bawain makanan enak buat kamu dan mamah," ujarnya sambil tersenyum hangat.

MAS RAKHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang