2

784 47 0
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"


***

Limario duduk termenung di ruangannya yang luas dan modern, dikelilingi oleh pemandangan kota Los Angeles yang tampak megah dari balik jendela kaca besar di belakangnya.

Jam berdentang, detik berganti. Namun, tetap dia seperti itu, bersandar pada kursi kebesarannya dengan pikiran yang tidak berada di sana. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja dengan tempo perlahan.

Bukan tentang rapat yang baru saja dihadiri bersama delegasi dari Korea Selatan yang bersarang di benaknya, melainkan tentang pertemuannya dengan Ruby Jane. Perempuan yang sudah sekian lama dia coba lupakan, namun hari ini muncul kembali di hadapannya seperti hantu masa lalu yang tak terduga.

Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin mereka bisa bertemu lagi setelah bertahun-tahun dia berusaha menghapus kenangan bersama Ruby dari hidupnya? Semua kenangan di New Zealand, tempat mereka dulu menghabiskan waktu bersama, kini kembali menghantui pikirannya. Semua yang telah dia coba lupakan, semua yang dia coba tinggalkan, seolah muncul lagi dengan tiba-tiba. Tentu bukan masa indahnya, justru pahitnya kenangan akhir di saat mereka berpisah.

Di sudut ruangan, Rosie, yang sedang merapikan dokumen-dokumen di meja, memperhatikan Limario yang hanya diam saja. Dia tahu pria itu sedikit terguncang tapi dia tidak menyangka bahwa pertemuannya dengan Ruby membuat Limario benar-benar menyita pikirannya. Lihat saja. Dia tidak melakukan apapun. Pekerjaan yang biasanya selesai dalam sehari, sekarang begitu terabaikan.

Rosie bisa melihat jelas bahwa sesuatu mengganggu pikiran Limario. Lagipula, siapa yang tidak turut terkejut dengan kehadiran Ruby Jane di ruang rapat tadi? Kaget, tentu dia merasakannya. Dia mengenal baik perempuan itu, mereka menjadi sahabat ketika Limario menikah dengan Ruby, dan menjadi lebih asing ketika badai rumah tangga terjadi pada keduanya.

"Lim," panggil Rosie, sambil mendekat ke meja Limario. "Kau baik-baik saja?"

Limario mengangkat kepalanya, perlahan menatap Rosie dengan mata yang masih dipenuhi kebingungan. "Kenapa harus dia?" tanyanya. "There are 216 countries in the world, so why on earth does she have to pick this place to expand her business, Rosie?"

Rosie menghela napas, lalu meletakkan kedua tangannya di pinggir meja. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap sahabatnya dengan fokus dan serius. "Kenapa kau begitu terusik dengan kehadirannya, Lim?"

"Terusik?" Limario mengulang kata itu dengan nada yang tidak percaya, menyunggingkan bibirnya dan mengangkat alis. Tawa kecil keluar dari mulutnya, seolah pertanyaan Rosie terdengar konyol. "Aku tidak terusik, Rosie. Aku hanya bingung. Seharusnya kami tidak perlu bertemu lagi, setelah semua yang terjadi."

Rosie menatap Limario dengan ragu. "Aku tidak mengerti, Lim. Sedari tadi kau hanya diam, dan memikirkan tentang itu. Kenapa? Seakan-akan kau sangat terganggu dengan kehadirannya. Bersikaplah profesional."

Limario mengembuskan napas berat. "Tetap saja, aku tidak ingin dia bergabung sebagai mitra kita."

Semakin mengerut dahi Rosie, tidak mengerti jalan pikiran Limario. "Lantas bagaimana? Kau mau memutuskan kerjasama ini hanya karena alasan tidak ingin melihatnya? Come on, Lim. Kalian sudah berpisah tujuh tahun yang lalu, dan sekarang kau bertingkah seperti ini. Kau selalu bilang bekerja harus profesional, tapi kalau begini caranya, kau sama saja tidak profesional."

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang