13

667 38 0
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"


***

Di tengah malam yang sunyi, suara bel kamar hotel mengusik ketenangan Ruby dari tidurnya. Sekejap ia merapikan gaun tidurnya dengan cepat-cepat, sebuah gaun sutra berwarna biru tua yang menutupinya sebatas paha. Berjalan sesudah itu, ia mendekati pintu dan menatap melalui peephole. Mungkin Jisoo.

Tetapi, tebakan Ruby meleset. Limario lah yang sedang berdiri di luar sana. Tampak sekali ia memerhatikan sekitarnya untuk memastikan tak ada yang melihatnya di depan kamar Ruby. Itu membuat wanita itu buru-buru membuka pintu.

"Kenapa kau datang ke sini, Lim?" Ruby bertanya, suaranya berbisik, khawatir ia bila ada telinga lain yang mendengarkan.

"Aku hanya tidak bisa tidur," jawab Limario, suaranya berat. Raut wajahnya jelas-jelas menunjukkan betapa dalamnya keresahan yang ia rasakan. "Aku merindukanmu."

Tubuh Ruby condong keluar sekejab, memperatikan sekitar, setelah ia rasa aman, ditariknya Limario cepat agar masuk. Kemudian ia tutup pintu rapat-rapat. Memastikan pintu terkunci rapat.

"Lim," celetuknya berbalik untuk menatap Limario yang berdiri di hadapannya. "Kalau ada yang melihatmu datang ke kamarku bagaimana? Kita sudah berjanji jangan ada yang tahu apapun tentang kita."

Hanya menggaruk reaksi Limario. Menghela napasnya lalu menjawab. "Aku tahu, Jane. Tapi aku sangat merindukanmu."

Ruby menatap Limario dalam-dalam, matanya menyiratkan kerisauan yang sama. Mereka berdua sedang terjebak dalam permainan takdir yang kejam, dipisahkan oleh batasan-batasan yang tak tertembus.

Mereka harus menjaga jarak, tidak boleh terlihat bersama, tidak boleh menyentuh, bahkan kata-kata yang terucap pun hanya seputar pekerjaan bila bertemu. Ini adalah penderitaan, menyiksa sekali. Terkurung dalam kerinduan.

Melihat ketulusan dalam mata Limario, Ruby merasa sakit yang sama dalam hatinya. Ia menggenggam tangan Limario dengan lembut, merasakan getaran hangat dari telapak tangannya. Dengan penuh kasih sayang, ia menariknya ke arah sofa yang terletak di sebelah kasur.

"Duduklah di sini," ucap Ruby, mendorong Limario untuk duduk di sampingnya. Ia duduk di sebelahnya.

Tangan Limario terulur ke belakang kepala Ruby, jemarinya meraih helaian rambut panjang yang terurai bebas di punggungnya. Ia belai lembut, merasakan halusnya rambut wanita itu yang terselip di sela-sela jarinya.

Limario mendekat, tidak ingin ada lagi jarak di antara mereka. Merasakan kehadiran Limario yang begitu dekat, Ruby pun ikut mendekat, menghapus sisa jarak yang tersisa. Ia biarkan kepalanya jatuh perlahan ke ceruk leher Limario, menghirup aroma yang begitu ia rindukan. Tangannya melingkar di pinggang Limario, memeluknya erat. Bersandar tubuhnya dengan manja, menemukan kenyamanan dalam kehangatan tubuh Liamrio di sampingnya.

Limario merasakan denyut-denyut nadi Ruby yang berdegup cepat di dadanya. Itu membuatnya merasa lebih hidup, seperti baru saja kembali dari dunia yang sunyi dan dingin. Dua, tiga kecupan sayang ia berikan di puncak kepala Ruby.

"Apa besok kita jadi berkeliling di sekitar menara Eiffel, Lim?" tanya Ruby. Ia sedikit mendongak, berusaha menangkap tatapan sayu Limario di tengah cahaya redup yang memancar dari lampu kamar di atas meja.

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang