🥂 HAPPY READING 🥂"Don't forget to leave a comment and vote!"
***
Melangkah Limario dengan tenang di sepanjang lorong lantai 16. Setelan jasnya kini membentuk siluet sempurna di tubuhnya, mempertegas sosoknya yang memancarkan aura dan wibawa. Rambutnya tertata sempurna, dan tatapan tajam penuh percaya diri. Setiap langkahnya terukur, teratur pun panjang dan cepat, menggema di antara dinding-dinding marmer yang dingin, perusahaannya yang megah, mewah. Di kedua sisinya, Rosie dan Bambam mengiringi, seperti dua bayangan yang tak terpisahkan dari auranya yang karismatik.
Tatkala tiba di depan pintu ruang pertemuan yang besar, Limario berhenti sekejap, pandangannya beralih pada Rosie, "Apakah penampilanku sudah rapi?" tanyanya. Ini adalah kebiasaannya setiap kali akan bertemu dengan orang-orang penting, mencari kepastian, bukan dari cermin, tapi dari orang terdekatnya.
Rosie memperhatikan, kini sorot matanya menelusuri garis rahang tegas Limario dan kemeja putih yang menyembul dari balik dasinya. Senyumnya tipis, tapi tulus. "Kau tampak sempurna," jawabnya.
Limario tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di bibirnya. Jawaban Rosie mampu memberikan rasa tenang yang ia butuhkan. Dengan anggukan, ia bersiap memasuki ruang pertemuan ketika Bambam mendorong pintu dua daun yang berat itu.
Limario melangkah masuk ke dalam ruang pertemuan, tetap menjaga langkahnya secepat mungkin tanpa kehilangan ketenangan yang telah menjadi ciri khasnya. Senyum ramahnya menyapa setiap orang yang hadir di sana, para eksekutif dan petinggi perusahaan, yang semuanya sudah menanti. Kini satu per satu tangannya menjabat erat tangan-tangan yang menyambutnya, sebuah tanda bahwa pertemuan ini tak hanya penting, tetapi juga sangat formal.
Tetapi di antara semua wajah yang ia kenali, matanya tertuju pada Jongin, yang mewakili perusahaan besar milik Ruby dan pria itu. Hanya Jongin, tanpa Ruby di sisinya. Baguslah demikian. Sebab itu, Limario merasakan sedikit kelegaan menyelinap di dadanya. Hubungan tersembunyi yang ia jalin dengan wanita itu begitu dalam, begitu kuat, hingga kehadiran Ruby di ruang yang sama pasti akan membuat pikirannya goyah.
Bagaimana mungkin ia bisa tetap fokus ketika hanya dengan satu tatapan Ruby, hasrat itu muncul? Keinginan yang mendesak untuk meraih wanita itu, merasakan sentuhannya, menuntunnya ke keintiman yang hanya mereka berdua pahami. Atau bahkan lebih liar dari itu pun bisa-bisa terjadi. Hanya dengan Ruby, ia mengakui bisa berani melakukan apapun juga.
Limario sadar betul, jika Ruby ada di sana, hanya dengan senyuman atau lirikan matanya, mereka sudah bisa saling memprovokasi. Godaan mereka satu sama lain begitu halus, begitu tak terlihat oleh orang lain, tapi bagi mereka, rasanya tak pernah ada yang lebih nyata. Ketegangan itu selalu ada, meskipun di tengah rapat sebesar ini. Hasrat itu bisa muncul kapan saja, tanpa melihat tempat, lebih-lebih melihat waktu.
Rapat pun dimulai setelah semua peserta berkumpul. Terasa hidup dan penuh dengan energi semangat suasana di dalam ruangan, membawa setiap ambisi, pun harapan. Masing-masing orang secara bergantian mempresentasikan rancangan yang telah mereka siapkan untuk mengembangkan perusahaan, dengan fokus khusus pada peluang bermitra di Los Angeles—kota yang tak pernah tidur, yang selalu penuh dengan segala kemungkinan.
Tampaklah mereka semua antusias, mencurahkan perhatian penuh untuk memahami untung dan rugi, juga hitung-hitungan yang harus dipastikan agar semua pihak dapat meraih manfaat maksimal dari kolaborasi ini. Diskusi berlangsung lancar, saling mengajukan pertanyaan, memberikan masukan, dan berbagi ide.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paris Nights
FanfictionSetelah perceraian mereka yang pahit tujuh tahun yang lalu, Limario Bruschweiler dan Ruby Jane bertemu kembali di Los Angeles, ketika perusahaan mereka tidak sengaja menjalin kerjasama. Pertemuan ini penuh ketegangan karena sakit yang belum usai dan...