🥂 HAPPY READING 🥂"Don't forget to leave a comment and vote!"
***
Di tengah kesibukan kantor, terus Ruby menunduk di depan laptopnya, berusaha fokus ia pada pekerjaannya. Tidak ingin sedikit pun memperlihatkan perhatiannya pada Limario yang sejak pagi mengirim pesan-pesan tanpa henti. Setiap panggilan telepon dari Limario diabaikannya, pesan-pesan yang masuk tak pernah dibaca. Ia tahu ini bukan cara yang dewasa, tapi hatinya belum siap untuk menghadapi Limario setelah apa yang terjadi.
Sedangkan, di ruangannya sendiri, Limario merasa semakin tidak tenang. Sudah beberapa kali ia melirik ke arah ponselnya, harap-harap cemas menanti balasan dari Ruby. Tetapi tak ada satu pun, seolah keberadaannya tidak penting. Sebagai CEO, Limario terbiasa mengendalikan keadaan, tetapi kali ini, ia merasa seolah tidak punya kendali sama sekali.
Cukuplah sudah, ia tak tahan lagi berdiam diri dengan cemas menanti. Ia pun berdiri dari kursinya, berjalan cepat menuju ruangan Ruby. Tatkala dilihatnya para pegawai sibuk dengan tugas masing-masing, Limario mengambil keputusan berani. Hati-hati, ia melangkah cepat, memastikan tak ada yang melihatnya. Begitu ia masuk, pintu langsung dikunci dari dalam.
Suara gemerincing kunci membuat Ruby tersentak, menghentikan jemarinya yang bergerak di atas keyboard. Ia mendongak lantas melihat Limario berdiri dengan tatapan tajam yang seolah menembus pertahanannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Ruby bertanya dingin, wajahnya tak menunjukkan sedikitpun emosi.
Limario tak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat, memutar kursi tempat Ruby duduk hingga mereka saling berhadapan lantas pun mengunci kursi itu, menahannya agar Ruby tidak bisa kabur darinya.
"Kau tahu, aku tidak bisa tenang kalau kau seperti ini padaku," Limario berbisik, suaranya rendah dan penuh tekanan. "Kenapa kau menghindari aku, Ruby Jane?"
Ruby terdiam sekejap. Hatinya ingin berteriak, tetapi gengsinya menahannya untuk tidak terlihat lemah. "Tanyakan pada dirimu sendiri," jawabnya, seraya mencoba bangkit berdiri, tetapi tubuh Limario lebih cepat bergerak, menahan pergelangan tangannya.
Ruby terhuyung, tubuhnya terpaksa jatuh ke pelukan Limario, begitu dekat hingga ia bisa merasakan detak jantungnya.
"Kau tidak menjawab panggilanku. Kau tidak membalas pesanku. Kau tidak seperti biasanya, Ruby Jane." Limario mendudukkan tubuh wanitanya itu kembali ke kursinya, lantas mendekat, menempatkan tangannya di kedua sisi kursi, memenjarakannya di antara tubuhnya. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"
Hanya diam Ruby, menatap tepat di mata Limario yang gelisah. Tak mau dia mengungkapkan apapun. Kemarahannya yang besar tadi kini berubah cepat menjadi kesedihan di antara mata indahnya.
Limario mendesah, melihat sorot mata itu. "Kau marah karena aku tidak mengangkat teleponmu tadi malam?"
Semula Ruby berpikir bisa kuat, bisa terus bersikap dingin, setidaknya untuk hari ini. Tapi menatap Limario sedekat ini, semua pertahanannya luruh. Matanya mulai berkaca-kaca, dan akhirnya, ia menangis.
Limario langsung panik. Dengan lembut, ia menarik Ruby ke dalam pelukannya, memeluknya erat, berusaha cepat-cepat menenangkan setiap emosi yang meledak di hati wanita itu. "Maafkan aku," bisiknya, suaranya pelan pun tulus. "Aku tidak pernah bermaksud menyakiti perasaanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paris Nights
FanfictionSetelah perceraian mereka yang pahit tujuh tahun yang lalu, Limario Bruschweiler dan Ruby Jane bertemu kembali di Los Angeles, ketika perusahaan mereka tidak sengaja menjalin kerjasama. Pertemuan ini penuh ketegangan karena sakit yang belum usai dan...