33

355 47 15
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"

***

Sementara Irene sibuk membahas detail pernikahan mereka dengan semangat yang begitu menggebu, Limario hanya duduk dengan wajah tegang. Ia tak mampu berkonsentrasi pada topik yang dibicarakan Irene yang suaranya dipenuhi keceriaan. Kakinya di bawah meja bergoyang-goyang gelisah, menunjukkan kecemasan yang memenuhi hatinya. Ia tahu bahwa ia harus segera berbicara, tetapi ia tak tahu bagaimana harus memulai. Setiap kata yang ada di benaknya terasa berat dan sulit untuk diucapkan.

Irene tak menyadari keresahan Limario, kian melanjutkan dengan penuh antusias. "Untuk destinasi pertama, aku ingin ke Thailand. Kau tahu kan, aku selalu ingin melihat negara kelahiranmu. Kita bisa ke Koh Samui, pantainya indah sekali, dan aku pikir itu akan menjadi tempat yang sempurna untuk memulai bulan madu kita."

Limario mencoba tersenyum, tapi pikirannya melayang jauh, tak ada sedikitpun ia terpikir tentang rencana bulan madu. Ia tak lagi memikirkan Thailand atau Koh Samui. Yang menguasai benaknya adalah kebohongan yang ia simpan, hubungan gelapnya dengan Ruby yang kini semakin sulit diabaikan. Setiap kali Irene tersenyum, rasa bersalahnya semakin menusuk dalam. Ia tahu bahwa semakin lama ia menunda percakapan ini, semakin menyakitkan semuanya akan menjadi.

Tetapi, kata-kata itu masih tersangkut di tenggorokannya, tak mampu keluar. Limario hanya bisa menatap Irene, yang begitu bahagia dan tak menyadari badai yang sedang berputar dalam hati tunangannya.

Limario berusaha meredam kegelisahan yang membelit pikirannya tatkala Irene menatapnya dengan cemas. "Lim? Kenapa? Kau tampak diam hari ini. Kau tidak enak badan?" suara sang wanita terdengar penuh perhatian, membuat perasaan bersalah Limario semakin menguat. Ia tahu, Irene begitu tulus mencintainya, dan setiap kebohongan yang ia lontarkan hanya akan semakin melukai wanita yang begitu mempercayainya ini.

"Sepertinya kau kelelahan karena bekerja lembur," Irene menambahkan, mengingat bahwa sebelumnya Limario mengatakan padanya bahwa ia baru saja selesai bekerja. Kebohongan itu begitu mudah terucap dari mulutnya tadi malam—sebuah kebohongan yang sebenarnya menutupi kenyataan bahwa ia menghabiskan malam di apartemen rahasianya bersama Ruby, kembali terjebak dalam hubungan yang sudah semakin sulit dihentikan.

Limario menggelengkan kepala, berusaha mengendalikan rasa bersalah yang semakin besar. "Tidak, tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit kelelahan. Maaf, Irene. Tadi sampai mana pembahasan kita?" tanyanya sambil mencoba mengalihkan perhatian, berharap bisa melanjutkan percakapan tanpa perlu membahas apa yang benar-benar sedang mengganggunya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa kebohongan ini tidak bisa bertahan lama. Setiap senyum dan kebaikan Irene hanya memperberat beban yang ia pikul.

"Tentang bulan madu. Aku inginnya di Koh Samui. Bagaimana menurutmu?" tanya Irene dengan semangat, mengharapkan antusiasme serupa dari Limario.

Kini sedikit Limario tersenyum dipaksakan, menyembunyikan kegelisahannya. "Tentu, apapun yang kau suka, aku pasti suka," jawabnya setuju dengan mudah, meskipun hatinya tak benar-benar tak di sana dalam percakapan itu.

Tetapi, Irene terdiam sekejap. Ada keraguan di matanya. "Lim..." panggilnya pelan.

"Ya?" jawab Limario, sedikit gugup.

"Aku perhatikan setiap kali kita membahas pernikahan, kau selalu setuju dengan apapun yang aku katakan. Kau tidak pernah membantah atau menambahkan apapun. Seolah-olah hanya aku yang bersemangat dengan pernikahan ini," ucap Irene sedikit getir di mata, tetapi tetap lembut, sekaligus khawatir. "Padahal, aku ingin tahu juga pandanganmu. Apa yang kau pikirkan tentang semua ini?"

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang