37

297 47 8
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"

***

Pagi itu, Ruby terbangun dengan perasaan berat di dadanya. Kecurigaan yang sejak kemarin berputar di benaknya seakan semakin nyata. Pagi ini, ia kembali muntah, kepalanya pusing, dan tubuhnya terasa lemas. Jisoo yang paling tahu segala keresahannya, duduk di sisinya kini. Datang ia menghampiri sebab khawatir dengan Ruby yang menghubunginya untuk hadir. Ia pun mendampingi dengan setia. Mereka berdua tahu apa yang harus dilakukan sekarang setelah Ruby menceritakan semuanya.

"Aku harus memastikan ini, Jisoo," ucap Ruby tatkala menyeka air di bibirnya yang basah setelah mencuci wajahnya yang pucat.

Jisoo mengangguk, menggenggam tangan Ruby untuk memberikan dukungan. Mereka pun memutuskan untuk keluar guna membeli testpack, sesuatu yang selama ini Ruby hindari karena takut menghadapi kenyataan. Ia tahu, hubungannya dan Limario memang intens, penuh gairah, dan tak jarang melebihi batas. Hubungan yang mereka tahu sangat berbahaya karena mereka berdua masing-masing masih terikat pertunangan.

Tatkala menunggu lama, pun akhirnya hasil testpack keluar, dua garis biru yang jelas terpampang di depan mata. Ruby terdiam, tubuhnya membeku. Dalam sekejap, perasaannya bergejolak, senang, takut, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Air matanya mulai luruh tanpa bisa ia kendalikan, dan dalam waktu singkat, ia tersedu-sedu.

Begitu ia terus selama satu jam, tangisnya memenuhi ruangan kamarnya, membuat Jisoo memeluknya erat, mencoba menenangkan.

"Ruby... tenanglah, aku di sini," bisik Jisoo, suaranya lembut, terdengar begitu peduli. Tangannya terus menerus mengelus punggung Ruby, mencoba menenangkan kekalutan yang melanda wanita itu.

Tetapi, air mata Ruby semakin deras. "Ini... ini terlalu berat, Jisoo. Hubungan aku sama Limario masih sangat rumit dan belum jelas arahnya. Kami berdua masih bertunangan dengan orang lain. Bagaimana mungkin aku menghadapi semua ini?" Ruby terisak, suaranya penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan.

Jisoo menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Serumit apapun situasinya, Ruby, kau harus memberi tahu Limario. Anak dalam kandunganmu tidak bersalah. Dia pantas untuk diketahui oleh Limario."

"Limario pasti marah padaku, Jisoo," ucap Ruby sambil terisak lagi. "Dia berkali-kali mengingatkanku untuk minum pil, tapi aku lupa beberapa kali... dan lihat apa yang terjadi sekarang."

Jisoo menggeleng dengan tegas. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Ruby. Kalian berdua sama-sama bertanggung jawab atas ini. Jika Limario marah dan mengatakan hal yang tidak pantas tentang bayi ini, aku yang akan berhadapan dengannya."

Tangis Ruby kembali pecah. Di dalam kepalanya, bayangan kehancuran terus membayangi. Bagaimana jika Irene tahu? Bagaimana jika tunangannya sendiri, mengetahui rahasia ini? Ruby bisa merasakan hancurnya dunia yang ia bangun, seakan perlahan runtuh di hadapannya.

Jisoo menatap Ruby dengan sorot mata penuh perhatian, pun tegas. "Kau tahu kan, setiap tindakan ada konsekuensinya? Aku sudah mengingatkanmu itu sejak awal. Sekarang tidak ada gunanya menyesali dan menyalahkan diri. Apa yang sudah terjadi, terjadi."

Ruby terdiam, menelan kepahitan kata-kata itu. Memang benar, ia telah sadar akan risikonya sejak awal, tetapi tak pernah ia menduga semuanya akan terasa seberat ini. "Tapi aku takut, Jisoo... Aku benar-benar takut. Bagaimana jika Limario menolak? Bagaimana jika dia meninggalkanku begitu saja?"

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang