🥂 HAPPY READING 🥂"Don't forget to leave a comment and vote!"
***
Rosie berdiri dengan tangan bersedekap, pandangannya tajam mengarah pada Limario dan Ruby yang duduk di meja makan dengan tangan terlipat, layaknya mereka sedang dihukum, kini menunduk untuk menerima ceramah panjang dari orang tua mereka. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang tak tersirat. Berputar terus kepalanya untuk mencari cara menghadapi situasi rumit yang mereka ciptakan.
Limario telah menjelaskan semuanya kepada Rosie. Dia tahu Rosie adalah sahabat yang selalu ada, yang harus mengetahui setiap detail dari keputusan besar yang mereka ambil. Tetapi, inilah yang menjadi pemantik kemarahan Rosie.
"Ya Tuhan, Limario, Jane," ujar Rosie akhirnya kini, suara penuh kekhawatiran dan ketidakpercayaan. "Kalian berdua ini sudah memiliki tunangan masing-masing. Apa kalian tidak takut dengan konsekuensinya? Ini seperti bermain api."
Limario mengangkat wajahnya, lebih berusaha mempertahankan ketenangan yang ia punya. "Tapi, Rosie, apa kau tidak senang melihat kami bersama lagi? Kau tahu betapa kami masih saling mencintai. Kau tahu betapa sulit hidupku tanpa Jane di sisiku."
Rosie menghela napas panjang, "Aku tahu, Lim. Aku senang kalian bahagia, sungguh. Tapi aku juga peduli pada kalian berdua. Kau, Lim, adalah nama besar di Los Angeles, dan Jane memiliki reputasi besar di Korea Selatan. Apa kau sudah memikirkan rencana selanjutnya?"
Limario meraih tangan Ruby, menggenggamnya erat, berusaha mencari keyakinan dan kekuatan dari sentuhan itu. Langas kembali tatapannya ke arah Rosie yang kini tampak semakin serius. Rosie memang seperti saudara baginya, adalah seseorang yang selalu mendampinginya di saat-saat sulit, yang tak pernah menilai Limario hanya dari versi terbaiknya seperti dunia luar menatapnya. Tahu betul, bahwa kali ini, peringatan dari Rosie tak bisa dianggap enteng. Itu adalah kebaikan mereka bersama.
"Aku akan jujur pada Irene," Limario akhirnya bersuara, nadanya mantap namun lirih. "Begitu juga dengan Ruby pada Jongin. Tapi kau tahu, itu tidak bisa dilakukan dalam semalam. Kami butuh waktu. Aku tidak ingin Irene merasa ini tidak adil."
Menarik kursi kosong di depannya, Rosie memilih duduk di hadapan mereka, menghela napas panjang berkali-kali. "Waktu kalian tinggal sebulan lagi, Lim. Kau tahu itu, bukan? Sebelum kau sampai pada pernikahan dengan Irene, semuanya harus kau selesaikan."
Limario mengangguk pelan. "Aku tahu."
Sejekap ada keheningan di ruangan itu. Jemari-jemari Rosie mengetuk-ngetuk meja, lantas menatap Ruby. "Kalau begitu, tidak ada lagi rahasia di antara kita."
Ruby tersenyum kecil, "Tentu saja."
"Kalau begitu, besok kita harus keluar untuk belanja," ujar Rosie kini tampak bersemangat.
Ruby mengangguk antusias. "Setuju! Aku merindukan saat-saat kita bersama, Rosie."
"Aku juga. Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu." Rosie mengulurkan tangannya ke depan Ruby kini yang ikut mengulurkan tangan ke adah wanita berambut blonde itu. Bersemangat dan saling berpegangan, tidak sabar besok segera tiba.
Limario yang merasa diabaikan langsung memotong, "Hei, hei, jangan lupa ajak aku juga."
Rosie dan Ruby berkata serempak, "Tidak, hanya kami berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paris Nights
FanfictionSetelah perceraian mereka yang pahit tujuh tahun yang lalu, Limario Bruschweiler dan Ruby Jane bertemu kembali di Los Angeles, ketika perusahaan mereka tidak sengaja menjalin kerjasama. Pertemuan ini penuh ketegangan karena sakit yang belum usai dan...