19

603 34 2
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"



***


Pesawat mulai bergerak meninggalkan Paris, hari itu Ruby tengah duduk di dalam jet pribadi yang mewah, menatapi perlahan-lahan kota yang selama ini selalu memberinya kebahagiaan, kian menjauh.

Kini terasa seperti beban yang berat di dadanya. Paris dengan segala romantisme yang ditawarkannya, kini berubah menjadi kotak rahasia yang menyimpan kenangan antara dirinya dan Limario. Kenangan yang tak bisa ia bagi dengan siapa pun, terutama dengan Jongin yang sedang menantinya di Los Angeles.

Kacamata hitam yang ia kenakan bukan hanya cuma pelindung dari sinar matahari, tetapi juga tameng bagi air mata yang hampir saja tumpah. Matanya sembab, lingkaran hitam akibat kurang tidur jelas terlihat jika bukan karena kacamata itu. Wajahnya mungkin terlihat tenang, tetapi di dalam hatinya, badai tak kunjung reda. Ia lelah, lelah secara fisik dan emosional setelah malam-malam penuh gairah bersama Limario. Tetapi, di balik semua itu, tidak ada rasa sesal yang datang dari hatinya, hanya sebuah rasa getir yang sulit dijelaskan.

Lirikan kecil ke arah pergelangan tangannya mengingatkannya akan tato yang sama dengan yang Limario miliki. Kecil, tak mencolok, tetapi penuh makna. Tato itu adalah bukti, bukti dari apa yang pernah ada di antara mereka. Bukti dari malam pertama mereka menghabiskan waktu bersama setelah tujuh tahun berpisah, dan bukti dari malam terakhir mereka, ketika keduanya memutuskan untuk kembali ke realitas yang penuh batas. Sebuah janji diam-diam, sebuah perpisahan tanpa kata, dan sebuah kenangan yang hanya akan mereka bawa dalam sunyi.

Pesan dari Limario tiba-tiba muncul di layar ponselnya, menyadarkan Ruby dari lamunan panjangnya. Nama "Lia" muncul di layar, nama yang sengaja ia gunakan agar tak seorang pun curiga.

"Jangan bersedih. Aku tidak suka melihatmu seperti itu."

Ruby menghela napas panjang. Ia tahu Limario memperhatikannya kini, meski ia tengah sibuk berbicara dengan Bambam dan beberapa delegasi di sisi kabin lain. Limario sama seperti dirinya, memakai kacamata hitam. Tetapi Ruby tahu, di balik kacamata itu, ada tatapan yang tertuju padanya.

"Iya. Kau juga harus istirahat. Jangan terlalu lama mengobrol. Kau kurang tidur," balas Ruby singkat, berusaha setenang mungkin dia.

Setelah mengirim pesan itu, Ruby menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba menenangkan diri. Di luar jendela, langit Paris yang biru kini telah berganti dengan langit-langit yang membawa mereka semakin dekat ke Los Angeles. Ke rumah. Ke tunangannya yang tak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi di Paris.

Limario yang dulu pernah menjadi segalanya bagi Ruby, kini kembali hanya menjadi bayangan dalam hidupnya. Mereka akan kembali menjadi orang asing. Kembali menjalani hidup masing-masing seolah tak ada yang pernah terjadi. Tetapi Ruby tahu, kenangan itu akan selalu tinggal, tersembunyi di balik kacamata hitam mereka, di balik senyum yang mereka berikan kepada orang-orang di sekitar, dan di balik tato kecil yang akan selalu menjadi pengingat akan kisah mereka di Paris.

"Ruby," suara Jisoo memecah keheningan di kabin jet pribadi itu, mengalihkan perhatian Ruby dari pikirannya yang berlarut-larut. Wanita itu duduk berhadapan dengannya.

Ruby menoleh perlahan, mencoba tersenyum tipis di balik lelah yang mendera.

"Jongin tadi mengabariku," lanjut Jisoo, "katanya dia akan menjemputmu langsung di bandara, jadi aku tidak perlu mengantarmu ke rumah."

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang