9

639 46 2
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"


***

Hari-hari Limario tak kunjung tenang sejak malam gala formal kemarin. Bayangan Ruby seolah terus menghantui pikirannya, menari-nari di benaknya saat mereka berdansa dalam irama yang seolah melambungkan hasrat mereka. Pandangan mata Ruby yang tajam, penuh gairah, tak pernah lepas dari ingatannya. Begitu pula dengan tatapannya sendiri yang tak sanggup menutupi perasaan yang bergejolak.

Oh Tuhan, berdosa sekali pikirnya sekarang. Pikiran liar yang berkecamuk membuatnya abai pada pesan-pesan Irene. Alasan yang dibuat-buat, keluhan lelah saat di telepon, semua itu hanya untuk menutupi gundah yang tak dapat ia ceritakan pada siapa pun. Sementara Ruby, wanita itu juga terikat janji dengan pria lain.

Frustrasi menguasai diri Limario. Ia berjalan mondar-mandir di depan jendela kamar hotel yang menghadap kota Paris, seperti mencari jawaban dari segala kegelisahannya. Berkali-kali ia membuka kontak Ruby di ponselnya, namun segera menutupnya kembali. Batin dan hatinya terus berperang. Sebuah keinginan membara ingin sekali menghubungi Ruby, sekadar mengajak minum kopi bersama, menikmati kehangatan di tengah dinginnya malam Paris yang gerimis. Namun, rasa bersalah pada Irene, dan Ruby pada tunangannya, seakan menahan langkahnya.

Namun, Limario berusaha menyugesti dirinya sendiri. "Ini hanya ajakan teman lama," bisiknya, berusaha meyakinkan diri. Setidaknya, sebelum mereka kembali ke Los Angeles, ia ingin menciptakan kenangan baik, setelah tujuh tahun menghilang dan kembali dengan membawa luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Limario sungguh ingin semuanya berakhir dengan baik.

Langkahnya terhenti, bibirnya menggigit kecil, pikirannya berputar mencari cara agar pertemuan itu terjadi secara natural, tanpa terkesan bahwa ia begitu menggebu-gebu. Hingga akhirnya, sebuah ide muncul. Ia menatap keluar jendela, melihat gerimis yang turun, membayangkan kesempatan itu. Malam hujan adalah alasan yang sempurna untuk mengajak seseorang minum kopi. Iya, rencananya kali ini akan terlihat lebih alami.

Ia meraih long coat-nya dengan cepat, sedikit merapikan rambutnya di depan cermin. Senyumnya terpancar, cerah, entah mengapa. Di satu sisi, ia merasa gugup, di sisi lain ada semangat yang mengalir dalam dirinya. Ia keluar dengan cepat dari hotel, memastikan tidak ada yang melihatnya keluar sendirian. Termasuk Bambam-yang pasti akan curiga atau mungkin meminta ikut. Egois memang, tapi ia ingin waktu hanya berdua dengan Ruby. Sesuatu yang mungkin takkan pernah terjadi lagi saat mereka kembali ke Los Angeles.

Udara dingin menerpa kulitnya saat ia melangkah keluar hotel. Tangannya mengusap-usap, mencari kehangatan. Di sekitar hotel ada banyak kafe, tapi tentu saja ia tak memilih yang terlalu dekat. Terlalu berisiko. Langkahnya membawa ia sedikit lebih jauh, hingga akhirnya ia tiba di sebuah kafe yang tampak sederhana, tapi memiliki daya tarik yang unik. Ia masuk ke dalam, memilih duduk di dekat jendela kaca.

Limario mengeluarkan ponselnya, membuka kontak Ruby. Tangannya bergetar saat hendak menekan tombol panggil. Bukan karena dingin, tapi gugup yang tak tertahankan. "Ayolah, Lim. Kau bukan anak remaja yang baru pertama kali mengajak perempuan keluar," gumamnya, mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan. "Kau bisa," ucapnya meyakinkan diri sendiri.

Dengan sedikit berdoa, akhirnya ia menekan tombol panggil. Tapi suara dering yang terus berbunyi membuatnya semakin gelisah. Tidak ada tanda-tanda panggilan diterima. Limario merasakan sedikit kekecewaan. Apakah ia terlalu bersemangat? Salah mengartikan pandangan mata Ruby kemarin? Ia hampir memutuskan untuk mengakhiri panggilan, merasa bodoh duduk menanti di kafe ini.

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang