38

365 55 4
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"

***

Segera bangkit Limario dari tempat duduknya, panik pun cemas. Langsung ia berlari ke arah Irene.

"Irene... Irene..." serunya, berusaha mendekati wanita yang kini menangis histeris, dengan air mata yang tak berhenti mengalir di pipinya. Tetapi, Irene mundur, menolak sentuhannya, menghindari tiap-tiap upaya Limario untuk mendekat.

"Irene, tolong... kasih aku waktu untuk menjelaskan semuanya," ucap Limario. Tatapannya memohon, sungguh ia pun tahu kata-katanya mungkin tidak akan cukup meredakan kemarahan Irene saat ini.

Irene tidak memberikan ruang untuk itu. Amarahnya sudah memuncak, dan dalam sekejap, ia menampar Limario dengan keras. Tamparan itu menggema di ruangan, membuat Ruby, yang masih duduk di sofa, terkesiap. Pin Limario yang terdiam, wajahnya terasa panas, baik karena tamparan itu maupun rasa bersalah yang kian menghantamnya kini.

"Menjelaskan apa?!" jerit Irene dengan suara bergetar. "Menjelaskan kenapa kau berbohong padaku?! Atau menjelaskan kenapa kau..." suaranya tersendat oleh tangisannya yang semakin dalam. "...kau tega melakukan ini di belakangku?"

Hanya bisa diam, itu yang Limario tahu. Sebab tak ada kata yang bisa membalikkan keadaan ini dengan mudah. Situasi ini sudah terlalu jauh untuk diselamatkan dengan penjelasan sederhana. Ruby yang menyaksikan semuanya dengan wajah pucat, merasa tak berdaya, terperangkap dalam kekacauan yang telah mereka ciptakan bersama. Ia pun ikut menangis karena mengerti bagaimana rasanya bila posisi Irene ada padanya.

"Selama ini aku percaya padamu, Limario..." ucap Irene dengan suara yang begitu lirih, nyaris berbisik, penuh dengan kesakitan yang mendalam. Matanya yang biasanya penuh kelembutan kini hanya menyisakan luka, menatap Limario dengan kekecewaan yang tak terukur.

"Tiga tahun, Limario. Tiga tahun aku bersamamu, menemanimu membangun karirmu, mempercayakan banyak hal kepadamu. Katakan padaku, sejak kapan kalian menjalin hubungan ini? Apa sejak pertama kali kita makan malam bersama Jongin?!" Suaranya bergetar saat ia menoleh tajam ke arah Ruby yang kini berdiri cemas, menatap Limario dan Irene.

Limario mencoba mendekati Irene, berusaha menjelaskan. "Irene... dengarkan aku dulu. Biarkan aku menjelaskan semuanya," ujarnya dengan memohon, tangannya mencoba meraih tangan Irene lagi kini.

Tetapi Irene langsung menghempaskan tangannya dengan kasar. "Jangan sentuh aku!" teriaknya, air mata jatuh makin deras di pipinya. Kepedihan dan pengkhianatan tergambar jelas di wajahnya. Yeri, yang berdiri di sebelahnya, menatap Limario dengan ekspresi penuh jijik, seolah tidak percaya bahwa sosok yang dulu ia hormati bisa berbuat seperti ini.

"Sungguh, Irene... Aku tidak pernah ingin menyakitimu," kata Limario, suaranya semakin kalut. "Aku... aku tidak pernah berbohong saat aku mengucapkan cintaku padamu, tapi..."

"Jangan!" potong Irene tegas. "Jangan berani-beraninya kau berbicara tentang cinta padaku sekarang! Kau sudah menghancurkan segalanya. Kau dan Ruby! Kalian berdua!" Suaranya kini hampir parau, dipenuhi dengan rasa sakit dan kemarahan yang membuncah.

Ruby menunduk, tak sanggup menatap Irene, merasa tak berdaya dan penuh rasa bersalah. Sedangkan Limario hanya bisa berdiri kaku, tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki situasi yang sudah terlanjur hancur.

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang