🥂 HAPPY READING 🥂"Don't forget to leave a comment and vote!"
***Limario duduk dengan tenang di atas sofa yang empuk, menghadap ke jendela kaca besar di apartemen mewah miliknya. Tersilang kakinya di atas meja, tangan kanannya menjadi penopang kepalanya tatkala bersandar pada lengan sofa.
Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat pemandangan kota Los Angeles yang gemerlap di bawah cahaya lampu-lampu kota yang memancar terang di malam hari. Berjam-jam sudah ia di sana, tenggelam dalam pikirannya yang tak kunjung henti berputar. Kemeja kantornya masih dikenakan, dengan dua kancing di bagian atas yang dibiarkan terbuka, menampakan sedikit dada bidangnya.
Segelas tequila hampir kosong, di tangannya dia putar-putar pelan menemaninya dalam keheningan. Tegukan demi tegukan membawa sensasi panas yang perlahan menghangatkan tenggorokannya, menjadi pelarian sementara dari apa yang ia pikirkan.
Mata Limario terpaku pada langit gelap berawan, melayang jauh pikirannya, menyusuri pertanyaan-pertanyaan di kepalanya yang tak mampu terjawab. Ia berbarap bisa mabuk saja supaya bisa melupakan itu semua.
Rosie muncul dari arah kamar, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi. Ia mengenakan kaos hitam oversized yang tampak terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Ditatapnya ke arah Limario, sedikit menghela napas seraya mendekati dan duduk di sebelahnya. Di tangannya ia membawa semangkuk keripik balado yang renyah.
"Nampaknya ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Kau terlihat stres," kata Rosil sambil mengunyah keripik yang dibawanya.
Limario menoleh perlahan, menghela napasnya lantas meneguk kembali sisa tequila di dalam gelas. Ia menatap Rosie dengan tatapan dalam. "Banyak hal yang berkecamuk di pikiranku, Rosie. Bisnis, tanggung jawab, dan keputusan-keputusan yang harus kuambil..."
Rosie melipat kedua kakinya di atas sofa, kembali memasukkan keripik itu ke dalam mulut seraya mengangguk. "Well... Itu biasa, karena kau seorang CEO. Tapi maksudku, stresmu lebih dari itu."
Limario tampak bereaksi dengan memijat tengkuk lehernya. "Memangnya apa yang lebih menyita pikiranku daripada pekerjaan?"
"Justru itu yang ingin kutanyakan padamu, Lim. Hei, aku mengenalmu bertahun-tahun. Serumit apa pun pekerjaanmu, kau tidak akan seresah ini. Dan kau pasti tidak akan meninggalkan rumah mewah dan nyaman, yang kau beli dengan tunanganmu hanya untuk menyendiri di apartemen rahasia ini."
Limario menghela napas, meregangkan lehernya yang tegang. Rosie terlalu mengenalnya dengan baik. Apartemen ini, tempat di mana ia bisa benar-benar sendiri, jauh dari hiruk-pikuk kehidupannya yang berisik, adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa memiliki kendali penuh atas hidupnya. Tempat ini ia beli secara rahasia, tanpa ada seorang pun yang tahu, bahkan Irene, tunangannya. Hanya Rosie yang ia perbolehkan datang dan pergi sesuka hati, mungkin karena ia tahu bahwa Rosie tidak akan menghakiminya.
"Biasanya kalau kau menyendiri di sini, pasti kau sedang memikirkan hal lain, yang membuatmu tidak menemukan solusi apapun selain minum-minum, mabuk dan akhirnya menangis," ungkap Rosie.
Limario tertawa kecil. Rosie selama ini selalu memperhatikannya, bahkan ketika ia berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Apartemen ini, seperti yang Rosie katakan, memang tempat pelariannya. Sebab, di rumah mewah yang ia beli bersama Irene, ada aturan-aturan yang membuatnya merasa terkekang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paris Nights
FanfictionSetelah perceraian mereka yang pahit tujuh tahun yang lalu, Limario Bruschweiler dan Ruby Jane bertemu kembali di Los Angeles, ketika perusahaan mereka tidak sengaja menjalin kerjasama. Pertemuan ini penuh ketegangan karena sakit yang belum usai dan...