27

463 59 4
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"


***

Menahan napas sekejap Ruby kala pandangannya tertuju pada mobil Jongin yang terparkir di halaman rumahnya. Angin malam Los Angeles menyelusup tajam ke kulitnya, membawa getaran dingin yang seketika menambah kecemasannya. Ia tidak mengira tunangannya akan datang malam ini, tanpa kabar, tanpa pemberitahuan. Jantungnya berdebar, bukan karena rindu, melainkan karena ingatan akan pergulatan panasnya dengan Limario beberapa jam yang lalu.

Bagaimana jika Jongin tahu? Apa yang harus ia katakan jika sesuatu dalam dirinya menciptakan kebohongan yang tercium?

Ia membuka pintu, berusaha menahan kegugupan. Di sana, di ruang tamu yang temaram, Jongin duduk di sofa, santai. Bibirnya tersenyum saat melihat Ruby masuk.

"Sayang?" sapanya, seperti biasa, penuh perhatian. Ia bangkit, berjalan kini mendekat dan mencium dahi Ruby dengan hangat.

"Jongin?" Suara Ruby terdengar sedikit bergetar. "Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya kalau mau datang?"

Jongin tersenyum kecil, tak menyadari kegelisahan di wajah tunangannya. "Aku pulang kerja lebih awal dan kebetulan melewati rumah ini. Kupikir, kenapa tidak mampir saja? Lagi pula, ini juga rumahku, bukan?" ucapnya, mereka masuk ke dalam rumah bersama dengan rangkulan tangannya di pinggang Ruby. "Penjaga bilang kau belum pulang, jadi aku menunggu."

Ruby mengangguk, berusaha mengatur napas. "Benar, tapi... aku tidak ingin kau menunggu terlalu lama."

Jongin menatapnya dengan penuh kasih. "Aku tidak keberatan menunggu," ucapnya tenang, lantas matanya terarah pada kantong belanja yang Ruby bawa. "Belanja sesuatu?"

Mendadak Ruby merasa aliran darahnya berhenti sekejap. Di dalam kantong belanja itu, ada beberapa lingerie yang ia beli, dan tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran benda-benda itu bisa menimbulkan kecurigaan kalau sampai Jongin tahu.

"Iya, hanya beberapa barang kecil," jawabnya cepat, berharap Jongin tidak melanjutkan. "Aku akan letakkan ini dulu ke dalam kamar dan berganti pakaian. Kau tunggu di sini, ya?"

Jongin mengangguk, tetap tersenyum, tidak ada yang aneh. "Baiklah, sayang. Aku tunggu di sini."

Ruby buru-buru masuk ke kamar, menutup pintu di belakangnya. Di cermin, wajahnya terlihat gelisah, pun pikirannya dipenuhi oleh perasaan bersalah yang mengguncang. Di antara pergulatan batinnya dengan Limario dan kehadiran Jongin yang tiba-tiba, Ruby tahu ia sedang berjalan di tepi jurang. Satu langkah salah saja bisa membuatnya terjatuh, dan mungkin tak akan ada jalan untuk kembali.

Ruby meletakkan kantong belanjaannya di atas kasur dengan cepat, lantas berlari kini menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitnya dengan hati-hati menggosok tubuhnya, memastikan tidak ada sisa-sisa kehadiran Limario yang tertinggal. Ia tak ingin Jongin, dengan insting tajamnya, mencium sesuatu yang janggal.

Setelah selesai, ia merasa lebih segar. Wajahnya sedikit pucat, tetapi setidaknya penampilannya kini bersih, tak ada jejak yang bisa dipertanyakan. Dengan cepat, ia menuju dapur dan menyiapkan minuman untuk Jongin. Ketika ia kembali ke ruang tamu, pria itu masih duduk di sofa, sibuk dengan ponselnya. Dasi di lehernya sudah sedikit longgar, kemejanya tergulung hingga siku, dan jasnya tergeletak di lengan sofa.

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang