39

267 48 3
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"

***

Limario duduk di sofa apartemen miliknya itu, napasnya terengah-engah, wajahnya penuh luka akibat amukan kemarahan Irene dan Jongin. Di depannya, Ruby dengan hati-hati membersihkan goresan-goresan di pipinya. Hawa hangat dan lembut tangannya sempat membuatnya terdiam sekejap, tetapi hati dan pikirannya penuh dengan rasa bersalah dan kelelahan emosional yang begitu mendalam. Mereka sudah mengaku. Mengaku pada tunangan masing-masing tentang hubungan terlarang yang mereka jalin selama ini. Dan sekarang, segalanya terasa hancur. Tapi terasa benar di sisi lain.

Ruby tampak tak kalah lelah. Matanya sembap, mungkin karena menangis sepanjang hari. Tubuhnya yang sedang mengandung anak dari orang di hadapannya semakin membuat Limario cemas. Ia tahu betapa berat situasi ini untuk Ruby. Bukan hanya karena kehamilannya, tetapi juga karena beban emosional yang harus ia pikul. Limario hanya ingin Ruby baik-baik saja, meskipun ia sendiri merasa lelah dalam kekacauan yang mereka ciptakan.

Rosie dan Jisoo, dua sahabat mereka yang dipanggil untuk datang, duduk diam di sudut ruangan. Rosie adalah orang pertama yang bicara, menatap kedua sahabatnya dengan ekspresi penuh kesedihan.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Rosie pelan, sekaligus terdengar tegas. "Aku sudah pernah bilang dari awal, ini akan berakhir buruk. Kalian tidak bisa terus begini."

Limario menghela napas panjang. Kepalanya terasa berat, dan ia merasa tak sanggup berpikir jernih. "Aku tidak tahu," jawabnya dengan suara serak.

Jisoo yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. Sebagai orang yang paling tua dan paling bijaksana di antara mereka, suaranya selalu penuh perhitungan. "Limario, aku rasa kau harus segera meminta maaf kepada keluarga Irene. Kau tahu, mereka telah banyak membantumu. Tanpa mereka, mungkin perusahaanmu tidak akan berdiri seperti sekarang."

Rosie mengangguk setuju. "Itu benar. Apapun yang terjadi, kau tetap harus bertanggung jawab. Tidak hanya kepada Irene, tapi juga kepada keluarganya."

Limario menoleh kepada Ruby, mencari dukungan di matanya. Tapi yang ia lihat hanyalah kelelahan dan keraguan. Ruby menurunkan kapas yang tadi digunakan untuk membersihkan wajah Limario, meletakkannya di meja.

"Apa yang mereka katakan benar, Lim. Kau harus meminta maaf. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja," ucap Ruby.

"Tapi bagaimana jika mereka menolakku? Bagaimana jika mereka tidak ingin mendengarkanku lagi?" Limario bertanya, suaranya hampir tak terdengar. Ada ketakutan besar yang menghantuinya, ketakutan bahwa semuakan akan menciptakan banyak masalah setelah ini.

Ruby menatapnya dalam-dalam. "Mereka mungkin menolakmu. Tapi tetap saja, kau harus melakukannya. Kau harus menerima apa pun yang terjadi, Lim. Itu harga yang harus kita bayar."

Untuk beberapa saat, keheningan melingkupi ruangan itu. Hanya suara napas mereka yang terdengar, berat dan penuh beban. Limario akhirnya mengangguk pelan, menyadari bahwa ia tak punya pilihan lain. Dia harus bertanggung jawab atas semua kesalahan yang telah ia buat, meskipun itu berarti kehilangan segalanya bersama Irene atau pun citranya di depan orang tua wanita itu.

Tak lama setelah itu, tiba-tiba Ruby merasa perutnya mual. Ia terdiam sekejap, wajahnya mendadak pucat, membuat Limario segera menyadari ada yang salah.

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang