8

627 46 2
                                    


🥂 HAPPY READING 🥂

"Don't forget to leave a comment and vote!"


***

Limario dan Ruby tiba di depan ruang pertemuan, napas mereka tersengal-sengal. Penjagaan begitu ketat, beberapa petugas keamanan berjaga di setiap sudut, memastikan tidak ada yang memasuki ruangan tanpa izin.

Di dalam, para CEO dari berbagai negara tengah berkumpul untuk konferensi penting ini. Limario merasakan denyut jantungnya masih cepat berpacu. Lelah dan terburu-buru, ia harus berlari melalui jalan setapak setelah kemacetan kota, agar bisa tiba tepat waktu. Saat menatap arlojinya, ia merasa lega-masih ada lima menit tersisa.

Ruby di sisinya, wajahnya juga tampak lelah. Meskipun begitu, ada seberkas kelegaan dalam matanya-mereka berhasil tiba tepat waktu. Dua-dua mereka berhenti sejenak, pelan-pelan berusaha mengatur napas.

Limario menata helai rambutnya, merapikan dasinya agar elok di pandang mata, sedangkan Ruby memeriksa riasannya dengan menggunakan kamera depan ponselnya. Sibuk mereka mempersiapkan diri.

Ketika Limario sedang membenahi dasinya, tiba-tiba sebuah bungkus tisu terulur di hadapannya. Limario memandang tisu itu dengan bingung, menyadari bahwa tisu tersebut datang dari Ruby. Ia mengalihkan pandangannya pada wanita itu.

Jujur saja, Limario tampak terkesan. Ini adalah pertama kalinya Ruby menunjukkan sikap ramah kepadanya setelah bertahun-tahun berlalu, setelah tujuh tahun terpisah, dan bertemu kembali, Ruby selalu bersikap dingin dan menjaga jarak darinya, terutama sejak pertengkaran besar mereka yang tak mengenakkan. Ia sempat berpikir bahwa wanita itu mungkin tidak akan pernah bisa memaafkannya sama sekali.

"Ambillah," ujar Ruby, yang membuat Limario semakin bingung.

"Kau berkeringat," Ruby menjelaskan sambil menatap dahi Limario.

Limario tersentak, meraba dahinya. Ia baru menyadari bahwa keringat mengalir dari dahinya akibat perjalan jauh mereka yang di lalui dengan berjalan kaki. Tentu saja, ia tidak ingin penampilannya yang kurang sempurna menjadi bahan pembicaraan atau penilaian buruk dari para delegasi yang telah menunggu di dalam. Kenapa dia bisa melewatkan itu? Untunglah Ruby mengingatkannya.

"Terima kasih," ucap Limario singkat, menerima tisu itu dengan anggukan kecil. Senyumnya ada namun tidak terlalu nyata dia tunjukkan terang-terangan, merasakan sesuatu yang hangat di dadanya.

Ruby hanya mengangguk, lalu berbalik, bersiap melangkah memasuki ruangan. Limario mengikutinya dari belakang, sejenak merasa ada sesuatu yang berubah, seolah ada harapan kecil yang menyala di antara mereka.

Mereka masuk ke dalam ruangan secara bergantian, melewati para delegasi yang sudah duduk di meja masing-masing, mempersiapkan materi pertemuan mereka. Limario dan Ruby berjalan ke arah kursi mereka di tengah-tengah ruangan.

Pertemuan dimulai dengan pengantar singkat dari moderator, dilanjutkan dengan para delegasi yang secara bergilir menyampaikan presentasi mereka. Diskusi pun mengalir pada topik yang telah disepakati, mengenai kerja sama ekonomi Eropa-Amerika. Sepanjang sesi, Limario tak dapat mengalihkan pikirannya dari Ruby. Sesekali ia mencuri pandang ke arahnya, dan beberapa kali tatapan mereka bertemu, membuat keduanya cepat-cepat mengalihkan pandangan dengan gugup.

Waktunya tiba kini bagi Ruby untuk mempresentasikan materi yang telah disiapkannya dengan matang. Ia bangkit dari kursinya dengan penuh percaya diri, dan mulai berbicara dengan suara yang jelas dan tegas. Kata-katanya lugas, opini-opininya begitu berani. Ia menampilkan pemikiran visioner yang menggugah, membuat hadirin di sana terdiam, terpukau oleh kepastian dan keyakinan yang ia berikan. Cara penyampaiannya begitu memikat, dipenuhi dengan daya tarik yang kuat, setiap kalimatnya mampu merengkuh perhatian seluruh orang yang ada ruangan itu.

Paris NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang