"Bisa-bisanya kamu sering bolos sekolah! Kamu udah SMA kelas dua! Dua tahun lagi mau kuliah! Kamu bukan anak SD lagi! Pikirin masa depan kamu!"
Lewat video call, aku cuek saja menanggapi omelan Papa yang sudah berlangsung 15 menit itu.
Topiknya pun membosankan. Masih hal yang sama.
1. Aku yang sering bolos sekolah. Memang taksi yang kutumpangi mengantarkanku sampai tujuan, tapi aku justru berbelok ke tempat lain bersama Eva, Dee, dan Flo, bukannya masuk ke sekolah.
2. Kalaupun masuk sekolah, aku tidak ke kelas dan malah melipir ke kafetaria sekolah saat KBM berlangsung.
3. Kalaupun ikut KBM di kelas, aku sering tak memperhatikan guru yang mengajar, dan malah menyumpal telinga dengan airpods untuk mendengarkan musik, podcast, ataupun menonton video.
4. Aku yang mengenakan seragam rok terlalu pendek, padahal aturan sekolah mewajibkan rok perempuan minimal lima senti di atas lutut, sedangkan yang kukenakan setengah paha. Rambutku yang panjang dan hitam kelam, sejumputnya ku-highlight ungu dari pangkal ke ujung, serta make-up ku sedikit melewati batas natural look yang diperbolehkan sekolah.
5. Aku yang masih aktif di klub cheerleaders, yang menurut Papa adalah kegiatan nirfaedah dan tak ada masa depannya.
6. Aku yang masih dekat dengan Eva, Flo, Dee, serta Nevan, yang dianggap Papa membawa pengaruh buruk.
Ugh! Telingaku sumpek mendengar ceramah Papa yang sepanjang jalan Anyer-Panarukan itu. Kok tidak kunjung berhenti? Apa mulutnya punya mesin? Kok tidak capek-capek? Kok tenggorokannya tidak kering?
"... paham nggak, Zurielle?"
Hah? Apanya yang paham? "Iya, Pa."
"Oke. Jadi, untuk mendisiplinkan kamu, Papa akan minta tolong seseorang untuk antar kamu berangkat dan pulang sekolah tiap hari."
Mataku membola. "Hah??"
"Iya. Dia akan memastikan kamu masuk sekolah, nggak bolos keluyuran. Juga memastikan kamu langsung pulang ke rumah setelah sekolah, nggak ke mana-mana dulu."
"Pa. Itu berlebihan. Lagian, kenapa Papa harus ikut campur urusanku sampai segininya? Di sini aku udah hidup cukup baik dengan Mama."
"Nggak. Papa nggak percaya sama mama kamu. Papa akan tetep ngelakuin ini. Papa memang udah cerai sama mama kamu, tapi kamu tetap anak Papa. Darah daging Papa. Jelas Papa tetep punya kewajiban mengarahkan kamu kalau kamu mulai nggak bener."
Kuembuskan napas lelah. "Jadi, aku bakal ada sopir pribadi, nih?"
"Jangan anggep dia sopir! Lagipula, dia kakak kelas kamu di sekolah. Yang sopan sama dia!"
"Kakak kelas? Serius? Kok bisa? Papa nemu dia di mana?"
"Dia murid bimbel Papa sejak dua tahun lalu. Salah satu murid bimbel Papa yang paling teladan. Mulai besok, dia akan mulai antar kamu ke sekolah."
Aku yakin, metode Papa ini tak berguna. Hanya seorang 'kakak kelas' tentu tak bisa mengontrolku.
Guru-guru, bahkan Kepsek pun, enggan mengusik aku, Eva, dan Flo. Lalu, apa yang bisa dilakukan seorang 'kakak kelas'?
Ya sudahlah. Kita lihat saja bagaimana nantinya. Aku sedang malas berdebat dengan Papa, jadi aku pasrah saja.
"Udah kan, Pa, khotbahnya? Zu capek, mau istirahat."
"Hhh... Bener-bener anak ini!" gumam Papa samar.
---
---Tak kusambut hari esok dengan antusias, kendati aku akan punya sopir baru yang notabene kakak kelasku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATCH OF THE CATCH || (LMK)✓
Teen Fiction(Romance) Tak ada yang bisa mengatur Zurielle (Zu) yang sering melanggar peraturan sekolah. Bahkan guru-guru dan Kepsek pun tak berkutik lantaran Zu berada di satu circle pertemanan dengan anak pemilik sekolah. Aphrodite. Itulah nama circle yang ber...