28. Ericky - Hater

10 1 0
                                    

Zurielle bilang, dia tanpa sengaja tersenggol pejalan kaki yang lewat di belakangnya ketika sedang berdiri di trotoar, menunggu Eva dan mobilnya tiba.

Aku menerima penjelasannya itu tanpa pertanyaan.

Si pengendara motor pun sudah diperiksa polisi kemarin, aku tahu dari ibunda Zurielle saat masih di rumah sakit. Polisi sempat menelepon beliau, menginfokan bahwa si pengendara motor sudah selesai diperiksa dan disimpulkan tidak bersalah karena kejadian itu merupakan ketidaksengajaan. Zurielle sendiri yang tiba-tiba lompat ke jalan raya, jadi bukan salah si pengendara.

Sekarang kabar kecelakaan Zu sudah menyebar di sekolah. Tak sedikit teman-teman yang menanyaiku keadaan Zu, yang kujawab bahwa dia baik-baik saja dan hanya perlu menjalani pemulihan selama beberapa saat.

Aku pun tak terlalu tuli untuk tak mengetahui bahwa ada keragaman tanggapan dari orang-orang di sekolah. Selain mereka yang menyayangkan peristiwa naas ini dan mengharapkan Zu baik-baik saja, ada juga mereka yang judging bahwa ini karma yang pantas Zu dapatkan karena bolos sekolah pada hari itu.

"Tuman, sih! Ketawa banget gue denger kabar dia ketabrak motor! Karma itu, tuh!"

"Tuhan emang nggak tidur. Kalo banyak tingkah, ada aja cara Tuhan ngasih azab."

"Semoga anak Aphrodite lainnya nyusul, deh. Gedek banget gue lihat mereka sok berkuasa di sekolah ini. Semoga satu-satu dapet azab, lalu pada tobat biar sekolah ini jadi lebih tenteram."

Telingaku panas akibat darahku mendidih. Muncul dari belokan lorong sekolah, aku melihat wajah-wajah perempuan yang tadi berbicara seperti sampah itu. Mereka bertiga terkesiap, agak kaget dengan kedatanganku.

"Who are you to judge?" ucapku lirih dan tajam, menatap mereka satu persatu. "Siapa kalian sampai merasa berhak mengklaim Zurielle pantas kena kecelakaan? Who do you think you are?"

Mereka membuang pandangan ke arah selain diriku. Mulut mereka terkunci, dan raut mereka tak menampakkan penyesalan.

"Kalian merasa diri kalian lebih baik hanya karena nggak mengalami kecelakaan, karena kalian menganggap kecelakaan adalah karma? Apa hanya dengan cara begini kalian bangga sama diri kalian sendiri? Dengan cara merendahkan orang lain, agar kalian merasa tinggi? Kalian merasa puas saat orang lain lagi kena musibah, ya? Gue turut prihatin, karena selama ini kalian hidup dengan cara semenyedihkan itu."

"Ky. Iky." Mario datang entah darimana, tahu-tahu sudah di sebelahku dan menyentuh bahuku. "Sabar. Jangan ribut di sini."

"Lebay lo! Siapa yang ribut, sih?!" tegasku pada Mario. "Gue cuma ngomong bentar sama mereka. They talked shit about my girlfriend, lo pikir gue bisa diem aja dengernya tanpa ngomong apa-apa ke mereka?"

"Sorry. Gue bukannya ngebelain mereka. Tapi ..." Mario melirik sekitar sebentar, lalu berkata lagi padaku. "Kita ngobrol di tempat lain, yuk! Ada hal penting yang harus gue omongin sama lo."

Belum aku setuju, Mario sudah merangkul leherku dan menggeretku menjauh. Baru kusadari beberapa murid di sekitar sini menatapku, mungkin telah melihat saat aku menegur tiga perempuan tadi.

Mario mengajakku menuju sudut sekolah yang cukup sepi.

"Ky." Lelaki itu menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada yang menguping. Kemudian dia berbisik. "Kayaknya cewek lo sengaja dicelakain orang, deh."

Aku menahan napas. "Yang bener lo!"

"Kemarin abang gue ada di sekitar TKP. Bahkan dia sempat ngerekam. Sebelumnya sorry nih abang gue rekam-rekam sembarangan, soalnya dia nggak bisa lihat cewek bening dikit, apalagi cewek beningnya ada tiga."

"Serius abang lo ngerekam?!" Aku hanya fokus pada dua kalimat pertamanya.

"Iya!" Mario memekik tertahan, lalu mengeluarkan ponsel dari saku dan memainkannya sebentar. "Abang gue semalem nawarin gue mau lihat video cewek ketabrak motor nggak. Setelah gue lihat, lah ternyata Zurielle! Ini gila banget, sih! Lo lihat sendiri, deh!"

Video di ponsel Mario menunjukkan Zu, Flo, dan Dee yang berdiri di trotoar jalan, dengan posisi Zu ada di tengah. Kemudian, seorang pejalan kaki ber-hoodie abu-abu dengan tudung menutupi kepala serta memakai celana jeans lewat di belakang mereka. Angle kamera agak menyerong, sehingga bisa terlihat tangan si pejalan kaki itu terulur dan mendorong punggung Zu sehingga perempuan itu menginjak jalan raya dan ... terjadilah.

Terdengar suara kakak Mario mengumpat di video itu, syok karena melihat kecelakaan. Tampilan video sempat bergoyang kecil, sembari dia berkali-kali mengabsen tiga nama binatang. "Eh anjing! Monyet! Babi! Itu didorong, woy! Cewek itu didorong sampe ketabrak, nyet! Anjing, mau kemana tuh orang?! Gue rekam lo, jing!! Bangsat tuh babi!"

Si hoodie abu-abu itu tak henti berjalan, abai pada kecelakaan di belakangnya yang telah menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar. Dia terus-terusan berjalan hingga menemui belokan di gang kecil antara dua toko. Sebelum berbelok, dia sempat menoleh ke belakang, ke arah keramaian kecelakaan. Saat dia menoleh itulah wajahnya tertangkap jelas di kamera, walaupun di-zoom dari jauh.

Aku mengulang berkali-kali detik si hoodie menoleh, memastikan identitas dari wajah itu. Pasalnya, aku pernah melihatnya sebelumnya. Jika tidak salah terka, dia adalah murid di sekolah ini.

"Mar. Ini ... Orang ini sekolah di sini, kan?" tanyaku ragu pada Mario.

"Gue sebenernya nggak mau nuduh, karena ada kemungkinan cumi alias cuma mirip," tutur Mario. "Tapi kalo beneran dia orangnya ... Wah! Anjing banget nggak, sih?"

"Mar! Kirim ke gue videonya!" titahku tegas.

---
---

Aturan di rumah sakit tempat Zu dirawat adalah hanya dua orang saja yang boleh menunggui pasien. Khusus untuk pasien kamar VIP, yang menunggui pasien boleh tiga orang. Tidak ada yang boleh masuk ke ruang rawat jika tidak mengalungi kartu tunggu, kecuali saat jam besuk.

Aku tidak kebagian kartu tunggu, karena sekarang sudah ada tiga nama yang terdata sedang berada di ruang rawat Zurielle. Coba tebak siapa? Ibunya, ayahnya, serta Nevan.

Oke. Nevan hanya menjenguk. Semoga tidak lama-lama, karena aku harus menunjukkan video dari Mario itu pada ibunda atau ayahanda Zu.

Aphrodite sudah kutunjukkan perihal video tersebut, dan mereka sangat syok, tak menyangka pelakunya adalah seseorang yang mereka kenal. Alasan aku menunjukkan pada Aphrodite adalah, agar mereka mulai mempertimbangkan akan mengeluarkan si pelaku dari sekolah atau tidak.

Yang jelas, pelaku itu tidak boleh lama-lama berkeliaran bebas, harus segera ditangkap agar Zu tidak mengalami kejadian seperti ini lagi di kemudian hari.

Menunggu gelisah beberapa menit, masih memakai seragam sekolah di sore yang berawan jingga ini, aku akhirnya melihat ayahanda Zu keluar dari jalur keluar-masuk yang dijaga ketat security itu.

"Pak Raka!"

Beliau menoleh. "Iky? Kamu kenapa malah di sini, bukannya masuk ke ruangannya Zu?"

"Nggak punya kartu tunggu pasien, Pak."

"Hah? Mamanya Zu nggak ada di dalem, harusnya dia udah ngembaliin kartu tunggunya ke petugas. Kayaknya dia bawa pulang, deh. Ck! Bener-bener! Ya sudah, kamu bawa kartu saya aja biar bisa masuk. Tapi di dalem ada temen cowoknya Zu lagi jenguk."

"Pak. Saya dapet video rekaman saat Zu kecelakaan. Ada yang sengaja dorong Zu ke jalan raya, Pak."

Beliau melebarkan mata. "Serius?! Mana videonya! Saya mau lihat!"

Orang itu harus ditangkap sesegera mungkin! Jika tidak hari ini, maka besok adalah hari terakhirnya berkeliaran bebas. Tidak akan kubiarkan dia lolos begitu saja. Persetan jika dia masih 17 tahun sehingga dianggap underage! Persetan jika nanti dia dikeluarkan dari sekolah! Persetan jika ini bisa merusak masa depannya padahal dia cukup berprestasi di bidang akademik! Persetan semuanya!

Siapkanlah pengacaramu, Shafira Esti Renjana!

---
-0-0-0-

MATCH OF THE CATCH || (LMK)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang