30. Ericky - Out of League

6 0 0
                                    

Yang menyambutku pertama kali ketika membuka pintu adalah raut datar Zurielle.

Dan ucapan dingin, "Maaf, anda siapa, ya? Kayaknya anda salah masuk kamar."

Pak Raka, yang di tanggal merah ini dapat giliran menjaga Zu, menoleh padaku yang masih berdiri bingung di pintu. "Ky? Udah dateng? Masuk, Ky."

"Dia siapa, Pa? Murid bimbel Papa?"

"Zuuu." Pak Raka menegur halus anaknya.

"Anda kayaknya ketinggalan info, deh. Untuk sementara, kelas bimbelnya Pak Raka pakai Zoom, bukan tatap muka. Kelas Zoom-nya pun dimulai jam enam sore nanti. Masih lama. Sebaiknya anda balik ke rumah aja, deh! Daripada di sini mau ngapain, kan?"

"Zuuu. Jangan gitu sama Iky! Ky, kamu temenin saya main catur aja! Zu lagi sensi hari ini. Masuk, Ky!"

Aku melirik Zu yang masih menatapku dingin, lalu dengan kikuk kulangkahkan kaki mendekati Pak Raka di sofa.

"Kamu mau yang item atau putih?" Beliau bertanya ketika aku sudah duduk.

"Uhm... Yang putih, Pak."

Sembari menyusun bidak catur di atas papan, beliau pun curhat. "Saya sengaja bawa papan catur ke RS biar nggak bosen, tapi Zu nggak mau diajak main bareng. Dia lagi galau ngangenin pacarnya yang dua hari nggak ngehubungin dia."

"Pa!!" Zu berseru kesal dari tempatnya.

Pak Raka hanya terkekeh kecil, masih sibuk menyusun bidak. Aku dan Zu berkontak mata, tapi hanya sebentar saja karena dia segera membaringkan tubuh dengan posisi miring membelakangiku, dan menaikkan selimut sampai leher.

Aku bukannya bermaksud tak mengabari Zu selama dua hari, hanya saja, aku tak tahu apakah wajar jika kukabari dia tentang diriku.

Dia sudah ada orang tuanya yang menjaga di sini. Aphrodite pun sering datang. Nevan pernah menjenguk. Kupikir, ada atau tanpa aku takkan berpengaruh banyak bagi Zu.

Namun, melihat reaksinya yang sedingin ini saat aku muncul, membuatku sadar bahwa aku tak seharusnya begini. Dia menganggap kami cukup dekat untuk dipertanyakan kabarnya ketika aku tak di sekitar. Dia ternyata ... kehilanganku.

Zu ternyata sungguhan melihatku sebagai 'pacar'. Walaupun tentu dia tak punya rasa suka padaku, tapi dia mengakui statusku sebagai pacarnya, tak hanya di depan orang lain, tapi juga pada dirinya sendiri.

Dan itu membuatku merasa bersalah, karena kadang aku ragu apakah kata 'kita' benar-benar ada. She's out of my league, dan dianggap sebagai pacar olehnya adalah suatu kemewahan untukku.

"Ky? Ayo mulai! Kok ngelamun?"

Aku berhenti melihat Zu yang masih membelakangi kami, dan beralih pada Pak Raka.

"Pak. Zurielle ... marah," ucapku ragu, berharap beliau paham aku ingin bicara dengan Zu, bukannya bermain catur dengannya.

"Nggak apa-apa. Nanti juga adem sendiri."

"Tapi ... Zu marah."

Pak Raka diam sejenak menatapku yang berekspresi memohon, lalu akhirnya berkata santai. "Iya. Iya. Sana kamu ajak Zu cari angin di luar pakai kursi roda!"

"Iya, Pak. Makasih."

"Kalo lagi di luar kelas, panggil 'Om' aja. Ya, Ky?"

"Umm... Iya, Om."

Aku beranjak dari sofa dan mendekati Zu, tapi perempuan itu justru berteriak. "Pergi, sana!" Selimut makin dinaikkan sampai menutupi seluruh tubuhnya tanpa celah.

"Zuuu. Nggak boleh gitu! Masih untung Iky masih inget kamu, lho," kata Pak Raka. Atau mungkin Om Raka.

Tak ada balasan dari Zu. Dia masih konsisten menyembunyikan diri di balik selimut.

MATCH OF THE CATCH || (LMK)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang