BAGIAN 14: MENJAUH

14 2 0
                                    

Beberapa hari terlewati begitu saja. Tidak terasa memang. Heyrin, seperti biasa menjalankan rutinitasnya. Hari ini dia pergi diantar oleh Dean, kondisi Pak No sedang tidak baik seperti perkiraannya beberapa waktu lalu sehingga orang yang selalu menyambutnya dengan senyuman itu izin cuti.

"Biasanya pak No bilang apa kalau anterin Heyrin?" tanya Dean pada adiknya yang sedang membaca.

"Cuman senyum aja sama ucapan belajar dengan baik."

Dean membayangkannya. "Ah, Pak, No itu dari dulu enggak berubah. Waktu anterin Abang sekolah juga dulu gitu."

"Dia lebih ramah daripada papa, iya, kan, bang?" Dean menyetujui ucapan Heyrin.

Tidak seperti Pak No yang memberi semangat pada Heyrin saat di halte, Dean malah menjahili adiknya. "Gak usah belajar yang rajin lah. Bolos aja kalo perlu. Jangan jadi boneka Pak Tua itu terus."

Heyrin menoleh galak. Dean tertawa lalu mencium pelipis adiknya. Orang yang paling dia cintai setelah almarhumah ibunya.

Tak sengaja melihat siluet Aihara dari dalam mobil, kening Dean mengerut. Di luar sana, Aihara juga baru tiba diantar oleh ayahnya. Pemuda itu berjalan dengan tenang melewati Heyrin. Dean melihatnya—Heyrin yang menghentikan langkah menatap punggung Aihara.

Memang, sejak ucapan Heyrin beberapa hari lalu, Aihara seperti memberi jarak pada Heyrin. Saat di kelas, biasanya Heyrin sering memergoki Aihara yang diam-diam menatapnya, kali ini gadis itu tidak menemukannya.

Di perpustakaan, Heyrin sudah biasa dengan kemunculan Aihara yang tiba-tiba, tapi kali ini pemuda itu tidak muncul bahkan ketika Heyrin sudah menghabiskan satu novel. Hari ini kelas mereka full belajar kesenian. Heyrin yang tidak tertarik memilih tidak mengikuti mata pelajaran itu dan menghabiskan waktunya di perpustakaan.

"Hah..." Menghela napas kasar, Heyrin agak merasa 'kehilangan' sosok Aihara. Padahal baru dua Minggu lebih keduanya berkenalan dan baru beberapa kali mereka melewati momen bersama. Lalu, kenapa dia se-risau ini? Bukannya dia yang meminta Aihara untuk menjauhi dirinya?

Meletakkan kepala di atas meja perpustakaan, Heyrin memejamkan matanya. Dia memang mengantuk karena tadi malam tidur sangat larut karena harus mengerjakan soal-soal dari buku pengayaan.

Dalam tidurnya, Heyrin bermimpi Aihara tiba-tiba duduk di sebelahnya ketika Ia membaca buku dengan memberikan senyuman terbaik pemuda itu—seperti yang sudah-sudah. Membuka mata, bahkan gadis itu memimpikannya.

Ah. Ini tidak benar. Heyrin mengangkat kepalanya merasakan sesuatu yang berbeda. Benar saja. Sebelum tidur, wajahnya memang terasa hangat karena terpapar sinar matahari, tapi ketika dia bangun, gorden jendela di depannya sudah ditutup hingga sinar matahari tidak menerpa dirinya. Siapa yang melakukan itu? Heyrin malas menebak dan memilih mengisi teka-teki silang.

****

Di tengah kesibukannya, Tn. Raiden tiba-tiba menerima sebuah telepon dari nomor tidak dikenal. “Halo?”

Penelpon langsung menjawab dengan nada yang agak menyeramkan. “Kami
menemukan anak mu. Jadi, tolong, jangan macam-macam. Jangan berpikir untuk melarikan diri atau anakmu tidak akan selamat.”

Tn. Raiden mematikan sepihak telepon itu. Wajahnya gusar dan memutuskan untuk
langsung menghubungi Manajer Al memintanya untuk segera menghadap.
“Aktifkan alat pelacak di jam Heyrin. Mereka menelpon saya dan bilang sudah menemukan anak saya.”

Manajer Al paham, mengetik cepat di komputer dan hasilnya jam berwarna hitam yang menggantung di pergelangan tangan Heyrin berkedip-kedip merah. “Sudah selesai, pak.”

BULAN DI ATAS KOTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang