BAGIAN 8-1: DIA BERBAHAYA

19 2 0
                                    

Rendi melepas seragam green cafe, melipatnya dan disimpan di dalam tas. Dia bergegas untuk pulang lantaran jam kerjanya sudah habis.

"Eh, Ren. Nanti tutup kafe, ya. Kuncinya diantar ke rumah Bu Alfi." Rekan kerja Rendi memberi tanggung jawab pada pemuda itu. "Ini, nih. Tadi kakak dapat bonus. Untukmu satu, ya..."

Rendi bersyukur untuk itu. "Oh, iya, kak. Makasih..." Kata Rendi, sopan. Makanan itu akan Ia berikan untuk sang kakak nanti. Tio pasti senang.

Sesuai menutup kafe, kakinya bergerak menuju rumah atasannya—Ny. Alfi—yang tak jauh sambil berjalan dengan tenang mendengarkan musik di earphone.

"Terimakasih, ya, nak. Aduh, jadi lama kamu pulangnya." Ny. Alfi sangat sungkan pada Rendi dan menyilakan anak itu untuk singgah.

Rendi menolak dengan halus.

"Oy, Rendi! Besok kelas dua semuanya ulangan, kan?" Tegur Dino di daun pintu dengan membawa secangkir teh hangat.

"Iya. Bahasa Inggris."

"Lo udah belajar belum? Belajar bareng, yuk bareng gua sama Aihara!"

Aihara melambaikan tangan dari sofa utama.

Sekali lagi Rendi menolak. Dia tidak bisa berlama-lama meninggalkan sang kakak yang pasti menunggunya di rumah. "Maaf, tapi bang Tio belum makan." Lelaki itu pamit undur diri.

Aihara melongo karena baru tahu fakta ini. "Wah, pantes aja waktu itu dia nyelamatin Heyrin."

"Rendi gitu karena gak mau buat Tio sedih. Yah, lo tau ,kan, gimana repotnya mengurus orang yang gak normal."

"Tapi, kok bisa ya pihak sekolah kasih izin anak "istimewa" sekolah di sana."

Dino menyulut. "Lo memangnya harus tau fakta ini juga?"

"Aku penasaran."

"Dulu, sih, waktu kelas satu Rendi sama Tio itu anak orang kaya, salah satu donatur sekolah. Tapi, usaha orang tuanya bangkrut, rumornya sih karena investasi bodong. Orang tua mereka mohon sama pihak sekolah supaya Tio sama Rendi tetap bisa satu sekolah." Dino menjelaskan tanpa mengurangi atau melebihkan fakta yang Ia tahu.

"Terus, sekarang mereka sekarang tinggal sama siapa?"

"Tinggal sendiri mungkin. Orang tua mereka mutuskan untuk merantau demi melunasi hutang."

Aihara jadi sangat prihatin. "Kalau dilihat-lihat Tio sama Rendi gak mirip, ya. Siapa yang nyangka mereka saudara? Kandung?"

"Iya, kandung. Awalnya aku juga ngira kalau mereka teman, sahabat, atau sepupuan. Kalau gua lihat-lihat, sih, Lo juga gak ada mirip-mirip nya sama bunda lo. Mungkin, lo  mirip pak Alfan kali, ya." Dino menambahkan dan itu bukan hal yang disengaja.

Tapi, karena ucapannya itu, Aihara jadi sedikit tersinggung.

Dino meminum kopi, memperhatikan tulisan tangan Aihara yang cantik. Dia kagum tanpa tahu jika Aihara hanya diam. "Ah, kalo gini, kan, gua jadi semangat belajar. Eh, besok kalau gua gak tau jawabannya, kode, ya. Capek aku tuh nilainya jelek mulu."

Aihara melengos enggan.

"Huh... Kalo aja seandainya aku bisa dekat sama Heyrin. Aihara, bisa satu proyek sama Heyrin itu udah hebat loh."

Berpikir sejenak, Aihara jadi ingat jika Dino pernah bercerita bagaimana Ia bisa beberapa kali mendapat nilai cantik—saat tak sengaja Aihara membuka-buka buku Dino. "Caranya kamu bisa minta jawaban sama dia kayak mana, sih?"

"Hm..." Dino menatap langit-langit. Pikirannya membawanya pada kejadian tadi siang, di mana dia menyelipkan sebuah surat kecil di dalam buku Heyrin. "Gitulah caranya." Dia menceritakannya pada Aihara.

BULAN DI ATAS KOTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang