Meski sudah dua hari berlalu, Heyrin masih saja merasa canggung dengan Aihara. Sebisa mungkin ia tampak biasa saja. Dia memegang tas di pundak dan meremetnya. Perasaannya meragu di koridor utama sekolah. Ini pertama kalinya dia merasakan hal sekonyol ini.
"Nyebelin..." Gerutu Heyrin.
"Gue nyebelin, ya, Heyrin?" Farel bertanya dengan helaan nafas kecewa.
"Eh?" Heyrin terkejut akan keberadaan Farel disebelahnya. Dia tak menyadari kehadiran pemuda itu.
"Layaknya kawan, aku juga mau masuk kelas bareng samamu," kata Farel lagi. "Jadi, beneran aku gak boleh, nih?"
"Ng..." Heyrin tak sengaja melihat siluet Aihara dari pantulan jendela. "I—iya. Boleh."
Farel berjingkrak di belakang Heyrin, memasang wajah angkuh pada semua teman sekelasnya ketika hendak duduk dibangku.
"Gile. Lo beneran bareng sama dia?" Tanya Andre, heboh.
"Ho'oh."
"Lo gak dapet kata-kata nyakitin dari mulutnya?" Dino ikut berpartisipasi.
"Ya nggak lah. Heyrin gak se ngeri itu. Lagian Lo semua kenapa, sih, harus ngejauh dari dia? Toh dia juga udah berbuat banyak untuk kita semua." Farel menasehati.
"Bukan menjauhi. Lebih tepatnya, tuh, gak mau berurusan sama orang aneh kayak dia," ucap Nadya, lantang.
Farel menepuk jidat. "Ck. Pelanin suara Lo, oy. Ntar kalo orangnya denger, kan, gak enak. Lo mau jam pelajaran tambahan lagi??" Tegurnya. Nadya hanya acuh. Mereka bersamaan menoleh ke arah Heyrin yang menyembunyikan wajahnya dibalik kedua tangannya yang terlipat.
"Gak biasanya dia gitu. Tuh anak kenapa?" Tanya Dino, mewakili semua pikiran teman-temannya.
....
"Aihara, kamu mau ke kelas, kan? Sekalian, ya. Kasihkan ini ke Heyrin. Agak kurang pantas kalau saya jumpai langsung. Saya, kan, hari ini gak masuk kelas kalian." Pak Haru mencegat Aihara dan menyodorkan sebuah amplop cokelat.
"Ini apa, pak?" Tanya Aihara, dan belum sempat mendapat jawaban, pak Haru kembali memberinya tugas: memberikan hasil ulangan teman-temannya.
"Bilangin sama teman-teman kamu. Mereka harus belajar lagi. Masa nilai ulangan jelek gitu. Kertas yang paling atas itu formulir study tour, minta Farel untuk mencatat nama-nama siswa yang mau ikut, ya," pinta Pak Haru membebankan semuanya pada Aihara. Entahlah anak itu akan ingat atau tidak.
"Siap, pak."
Di luar, Aihara bertemu dengan Tio yang berpenampilan seperti biasa. Ah, tidak. Ada hal yang berbeda dari Tio. Hari ini dia nampak lebih sumringah. "Hai," Aihara menyapa sambil melambaikan tangan.
"Hai, menyapa. Me—menyapa artinya kenal. Wajah asing. A—anak baru. Anak baru. Tinggi, tinggi, tampan."
Aihara mendengar semua ocehan Tio dengan sabar. "Aku anak baru. Namaku Aihara. Salam kenal, yah.." dia hendak mengulurkan tangan tapi teringat sedang membawa beban. Aihara merasa tidak enak karena uluran tangan Tio terus menggantung. "Maaf gak bisa jabat tanganmu. Aku bawa buku-buku."
Tio mengerti. "Buku, buku. Banyak buku, tugas, tugas. Tugas kalau salah satu sembilan puluh kalau soalnya lima delapan puluh. Kalau tugas harus dikerjakan dengan jujur jangan menyontek."
"Iya. Makanya kita harus belajar yang serius. Omong-omong, Tio kelas berapa?" Tanya Aihara.
"Tio Pahlevi, umur sembilan belas tahun. November, bulan di musim hujan. Sebentar lagi ulang tahun ke dua puluh. Kelas satu-D." Tio menjelaskan identitasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN DI ATAS KOTA
Ficção AdolescenteAihara adalah murid akselerasi dari sebuah sekolah Internasional ke sebuah sekolah yang berada di kota kecil. Dia tidak sengaja berurusan dengan Heyrin, si murid terpintar namun misterius di saat yang bersamaan hingga gadis itu dijuluki si 'murid ha...