Bel pulang sekolah berbunyi, seluruh siswa berhamburan keluar dari kelas menuju parkiran dan gerbang utama. Pak Haru, berdiri memantau murid-muridnya di depan kelas. Mengucapkan “Ya, hati-hati, ya” pada setiap murid yang mencium punggung tangannya. Termasuk kepada Heyrin. Dia menatap sendu murid nya yang satu ini.
Pengawal Norman atau yang biasa dipanggil Pak No membuka pintu mobil sedan putihnya menyambut kedatangan nona mudanya. Mendongakkan kepala ke atas, Ia tau Heyrin pasti kepanasan menunggu di halte yang cukup jauh dari sekolah selama hampir dua jam.
Salah satu peraturan yang harus pak No patuhi adalah Ia tak boleh menjemput Heyrin saat sekolah masih ramai. Iya harus membiarkan Heyrin menunggu setidaknya dua sampai tiga jam memastikan sekolah benar-benar sepi.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Pak No melirik Heyrin yang diam memandang jalanan. “Apa mbak Erin belajar dengan baik hari ini?” pria berusia nyaris setengah abad itu membuka percakapan.
“Begitulah.”
“Pasti materinya semakin sulit ya mbak. Anak saya yang baru masuk SMA juga bilang gitu. Mata pelajaran mereka sudah seperti anak kuliah saja.”
Heyrin melirik Pak No sebentar. “Iya. Memang lebih sulit.” Dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah alat pelacak. Sulit yang dimaksud oleh Heyrin bukan teori pelajaran yang memusingkan kepala tapi sulit dalam arti yang lain.
“Mbak Heyrin beruntung karena bisa mengerti pelajaran dengan baik, menjadi anak yang penurut dan selalu bisa dibanggakan. Saya harap anak saya juga demikian,” kata Pak No lagi.
Kening Heyrin mengernyit. Dia tidak menyukai gagasan itu, katanya pada Pak No. “Jangan membandingkan anak bapak dengan siapa pun. Dia berharga dengan kelebihannya.”
Pak No mengangguk sambil tersenyum kecil. “Saya sering bercerita ke anak saya yang paling kecil—yang masih kelas empat SD—tentang mbak Heyrin yang pintar. Dia jadi kagum. Katanya dia mau ketemu sama mbak Heyrin untuk diajarkan rumus matematika.”
“Nggak masalah. Bilang sama anak bapak dia boleh ketemu sama aku.” Heyrin akan mengabulkan keinginan orang yang sudah berbuat banyak untuknya ini.
Sepintas Pak No benar. Heyrin selalu terlihat mengagumkan di mata orang lain. Orang-orang pasti akan iri dengan apa yang dicapainya selama ini. Tentang prestasi dan kemampuannya di banyak bidang tanpa diragukan.
Tapi, siapa yang menyangka jika Ia juga memiliki perasaan yang tidak baik-baik saja di dalamnya. Dia juga manusia yang pasti memiliki sisi yang disembunyikannya dari dunia. Seperti yang tadi dikatakan Aihara.
....
Ketika mobil berhenti di sebuah pelataran yang luas, Heyrin membuka pintu utama sebuah rumah dua lantai yang bergaya modern dengan kombinasi warna putih dan abu-abu. Heyrin membuka Hoodie nya. Memandang ruang tamu yang luas namun selalu sunyi. Ia hanya diam ketika sang mama menyambutnya dengan terburu-buru menuju pintu keluar.
"Masuk terus belajar. Jangan sampai ketiduran. Ingat, kamu ada les Bahasa Inggris hari ini!” tegur ny. Hera—Ibu Heyrin yang berprofesi sebagai seorang model majalah kecantikan. Wanita itu berlari kecil menggunakan heels nya dan bahkan tak memandang wajah anaknya barang sedetik pun.
Heyrin hanya mengiyakan saja lalu berjalan semakin jauh dan menemukan ayahnya sedang duduk di sofa ruang tengah, berfokus pada laptopnya.
“Assalamualaikum,” salam Heyrin, berdiri di belakang ayahnya, Tuan Raiden. Seorang Pemimpin perusahaan distribusi yang terkenal di Griya.
“Waalaikumsalam. Eh, Rin? Kok masih gak ganti baju? Naik ke kamar. Ingat, jam tiga kamu ada kursus,” Tuan Raiden mengingatkan.
“Oke.” Heyrin membawa dirinya untuk naik ke tangga tanpa ber ba-bi-bu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN DI ATAS KOTA
Fiksi RemajaAihara adalah murid akselerasi dari sebuah sekolah Internasional ke sebuah sekolah yang berada di kota kecil. Dia tidak sengaja berurusan dengan Heyrin, si murid terpintar namun misterius di saat yang bersamaan hingga gadis itu dijuluki si 'murid ha...