BAGIAN 7-2: ORANG YANG BERUNTUNG

18 2 0
                                    

Suara alunan tuts piano mengalihkan atensi Aihara ketika berdiri tepat di depan pintu menuju rooftop sekolah. Alunan itu sangat-sangat indah dan nyaman di dengar. Terlampau penasaran, Ia langsung saja membukanya dan naik ke tangga.

Dia memiringkan kepala untuk mengecek. Matanya memperhatikan gerakan tangan orang yang sedang bermain piano itu. "Wah, jadi ini fungsi kelas musik di sekolah?" Kagumnya. "Kalau kolam renang fungsinya apa, ya?"

"Kamu?" Heyrin menghentikan permainannya. "Sedang apa kamu disini?"

"Mencari pak Haru tapi malah ketemu sama kamu. Wow, selain pintar dalam akademis, kamu juga pintar di bidang musik juga? Keren!"

Heyrin mencibir.

"By the way, itu lagu apa?"

"Kenapa kamu mau tau?"

"Alunannya indah. Aku belum pernah dengar. Kalau aku tebak, sih, itu lagu asing yang kurang familiar. Kamu dengerin supaya orang gak tau keadaan hatimu, ya?"

Heyrin menoleh kaget karena Aihara bisa membaca isi pikirannya. Ia menengadah, memandang tinggi tubuh Aihara dengan balutan seragam yang rapi—khas murid yang taat dengan aturan. Sebelah tangan pemuda itu dimasukkan ke dalam kantung celana. Wajah putih dan berambut lebat itu tersenyum.

"Orang sepertimu itu biasanya menyukai hal-hal yang tenang dan damai. Semisal buku, musik klasik, ruangan sunyi, lukisan abstrak yang sarat makna. Itu karena kalian kadang-kadang merasa harus berpisah dari pikiran-pikiran kacau yang membelenggu. Dunia kalian berisik, jadi begitulah mencari ketenangan. Aku benar, kan?" Lanjut Aihara, tersenyum bangga dengan ucapan panjang lebarnya barusan.

Heyrin menoleh sengit dengan pupilnya yang melebar sebentar lalu meredup. "Pergilah. Jangan ganggu aku."

"Kamu juga memiliki harapan yang seperti itu, kan? Mencicipi sesuatu yang belum sempat kamu rasakan di hidupmu saat ini. Kamu ingin meminta maaf dan menangis dengan benar, kan? Tapi, kamu tidak tau bagaimana cara memulainya."

Kini, Heyrin membelalak dan sedikit kesulitan bernafas saking sesaknya. Tidak menyangka ada orang yang memahami situasinya. "Aku tidak sangka memorimu bisa menampung informasi sebanyak itu."

"Aku, sih, gak suka baca novel. Buat apa baca kisah orang lain sedangkan hidup kita porak-poranda?" Aihara terduduk di samping Heyrin dengan santai.

Heyrin tak menanggapi. Dia mana peduli.

"Tapi itu benar, kan?"

"Apa?"

"Pada akhirnya, kita semua harus merangkak sendiri untuk mencapai tujuan kita. Seterjal apapun jalan kehidupan ini. Hanya kita yang bisa memilihnya, karena... Ini hidup kita. Milik kita." Aihara meneguk ludah dengan kasar setelah berucap—Heyrin menatapnya intens, tak terbaca maksudnya.

Menggaruk-garuk belakang kepala, Aihara hanya cengengesan. Canggung.

"Kamu terlalu banyak bicara," final Heyrin, akhirnya setelah bermenit-menit dia menatap wajah Aihara lalu berniat pergi karena malas meladeni.

Tapi—"Okeh!" Suara Aihara terdengar lantang. Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya, berdiri di depan lawan bicaranya sejak tadi dengan gaya sok keren; menurut Heyrin.

"Karena kita saling mengerti dan ngobrol dengan nyambung, kurasa kita memang mulai harus akrab sekarang. Kita bakal jadi rekan dekat."

Heyrin tak menangkap maksudnya dan karena Aihara tau, dia menunjukkan kertas kusut di hadapan gadis itu. Yang ternyata, sebuah surat berisikan di mana kepala sekolah menunjuk Aihara dan Heyrin bekerja sama untuk wawancara yang akan diadakan oleh salah satu stasiun TV pendidikan mengenai opini siswa tentang program akselerasi dan kurikulum baru tentang pertukaran pelajar.

BULAN DI ATAS KOTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang