Dino mengingatkan. “Satu hal yang harus Lo tahu. Meski menurut lo menarik, gua sarankan Lo jangan pernah berharap apapun sama dia. Sebesar appaun rasa penasaran lo. Ntar Lo nyesel sendiri.”
Aihara hanya mengangguk-angguk. Dia menerima ajakan Dino untuk berkeliling di sekolah "barunya" saat jam olahraga ini. Kebetulan sekali memang guru mapel itu sedang absen, jadi mereka dibebas tugaskan artinya boleh bermain bebas di lapangan.
Dan karena Aihara tidak membawa baju olahraga, Dino bersedia menemainya berkeliling saja. Meskipun waktunya hanya 6 bulan, menurutnya tidak ada salahnya jika ia ingin mengenal sekolah ini.
Namanya SMA AWAN. Sebuah sekolah menengah yang terletak di kota kecil di Jakarta. Posisinya cukup strategis karena jauh dari jalan raya yang artinya murid-murid bisa belajar dengan nyaman tanpa suara berisik. Ada dua lantai di sini. Lantai bawah untuk kelas satu dan dua sedangkan lantai atas untuk kelas tiga dan ruang guru. Fasilitasnya juga lengkap, termasuk kolam renang juga kelas musik.
“Ini aneh. Biasanya, sekolah yang letaknya di kota pinggiran jarang ada yang punya fasilitas selengkap ini. Apa yayasannya gak rugi dengan ngadain fasilitas gini padahal nggak ada di daftar eskulnya?” monolog Aihara yang tak didengar oleh Dino.
Aihara berdiri di rooftop sekolah, menikmati view pemandangan yang indah. Dari sini terlihat jelas hamparan hijau pepohonan dan sawah yang menyejukkan mata. Aihara juga
terkesima karena sebelumnya tidak pernah menemukan hal seperti ini.“Ini kota lintas. Masih ada daerah persawahan, gak melulu metropolitan. Di sekolah lama lo, kalo berdiri di tempat tinggi pasti yang terlihat gedung-gedung Pencakar langit, kan?” Dino menebak.
Dan itu benar. “Aku suka daerah ini,” jawab Aihara lalu pemandangannya menuju ke bawah, di mana para murid laki-laki kelas 11-A sedang bermain sepak bola dan murid perempuan duduk berjejer bersorak-sorai.
Yang satu ini, Aihara sudah biasa melihatnya. Matanya bergerak lagi, hingga tertuju pada seorang gadis yang duduk membaca buku di bawah pohon besar. Dia nampak fokus dan tidak terusik. Menyipitkan mata untuk lebih mencari tahu, Aihara mengerutkan kening. Gadis itu membaca buku pengayaan?
Wah! Sangat tidak terduga
.....
Merasa sedang diperhatikan seseorang, Heyrin mengangkat kepalanya. Matanya dan mata Aihara bertemu pandang untuk sebentar. Di atas sana, Aihara mencoba untuk tersenyum namun tak dibalas oleh Heyrin. Buku yang dibaca gadis itu semakin diangkat hingga menutupi wajahnya.
“Aku suka Heyrin, Aku suka Heyrin. Dia, dia, anak yang rajin, anak rajin dapat juara satu, dapat juara satu artinya dapat piala.” Seorang siswa bertubuh gempal dengan leher yang dikalungi botol minum berwarna biru menggunakan kacamata bulat besar mengintip Heyrin dari belakang. Si anak penyandang autisme, Tio namanya.
Tio tersenyum malu-malu melihat gadis favoritnya. Dia ingin sekali mendekati Heyrin tapi tidak boleh. Ibunya bilang, Heyrin itu anak yang rajin, dirinya tidak boleh mengganggu Henyrin belajar.
“Tio suka Heyrin, Heyrin anak yang baik. Heyrin anak pintar. Anak pintar dapat piala,” dia bergumam sambil memilin-milin tangannya.
Aihara melihat semua itu, dia juga tahu apa yang digumamkan Tio karena mengikuti pergerakan bibirnya. “Dino itu—“
“Woy, Aihara! Gua mau ikutan main basket tuh. Si Andre keluar, mules katanya. Lo boleh ikutan main, kok!” Dino menyampaikan, tadi dia diberi kode oleh Farel dari bawah untuk segera bergabung.
“Gak lah. Bajuku ini masih baru, sayang nanti kalo kotor. Aku nonton aja,." Aihara menolak dengan halus
Dino sangat menyayangkan itu. Dia turun dengan segera meninggalkan Aihara. Selagi asyik menikmati permainan bola kaki di bawah sana, Aihara sesekali melihat ke arah Heyrin yang masih di tempatnya.
....
Sementara dari balik pohon besar, Tio merasakan gatal bercampur sakit di kaki. Rupanya banyak rangrang mengerubungi sepatunya, Tio tersentak langsung menginjak-injak hewan kecil itu. Dia juga berteriak-teriak, melompat ketakutan hingga tak sengaja botol minumnya terbuka, dan air dari dalam botol tumpah tepat di rok seorang siswi berambut pirang yang melintas.
“Kurang ajar! TIO SIALAN!” teriak siswi bernama Agatha itu, tidak terima karena si anak autis merusak penampilannya “UDAH BODOH BANYAK TINGKAH PULA! ” lanjutnya, menghardik.
Insiden itu menarik perhatian banyak orang hingga mereka semua berkumpul mengerumuni Agatha dan Tio. Dengan tidak sabar, Agatha menarik rambut Tio, menjambaknya dengan kuat. “Lo punya otak gak, sih? Liat, rok gue jadi basah!” dan Tio terus berampun-ampun meminta Agatha menghentikan aksinya.
Herannya tidak ada satu orang pun yang berani menolong Tio, mereka semua hanya diam dan menonton sambil meringis. Mereka harus berpikir dua kali untuk melakukan pemisahan, ada banyak pertimbangan untuk mengambil keputusan itu.
“Senior aku minta maaf, minta maaf harus dimaafkan, kalau enggak nanti Allah marah. Senior jangan galak, kalau galak darah tinggi, hipertensi nanti bisa setruk,” Tio terus berkata menahan ringis, kepalanya terasa mau lepas tapi sepertinya Agatha tak ada niatan untuk menghentikannya.
Dari tempatnya, Heyrin menutup buku. Memandang rerumputan yang memanjang
Aksi heroik itu berlangsung cukup lama hingga—PLAK. Semua orang membelalakkan mata, Heyrin dengan tidak gentar menampar anak donatur terbesar di sekolah ini? Wah. Berani sekali dia, begitulah isi pikiran murid-murid sekarang.
Tanpa bicara apa-apa, Heyrin segera berlalu meninggalkan kerumunan dengan menyenggol bahu Agatha agak keras. Kesempatan ini pun dimanfaatkan Tio untuk lari. Agatha benar-benar kesal menahan ini semua, rasa panas menjalar di wajahnya ditambah lagi dengan rasa malu. “Awas Lo Heyrin.” Agatha menggumam marah, mengambil batu berukuran sedang di sekitarnya dan mengarahkannya tepat di kepala Heyrin.
PUK. Batu itu berhasil menghantam kepala seseorang, tapi bukan kepala Heyrin, melainkan milik seorang siswa yang berdiri tepat di belakang Heyrin. Darah mengalir dari kepala pemuda itu hingga dia lah yang menjadi pusat kerumunan sekarang.
Heyrin? Yah, Aihara sangat menyayangkan ini. Gadis itu bahkan tak membalikkan
badan dan terus berjalan. Lalu bagaimana dengan korbannya?"Apa-apaan dia itu??" Gumam Aihara segera turun dengan cepat dan berhenti di depan Heyrin. "Ada orang yang kepalanya terluka karena melindungi mu," kata Aihara memberi tahu.
Heyrin mengerjab. "Karena aku?" Dia menoleh ke belakang sebentar lalu melanjutkan langkah.
Aihara mengejarnya. "Aku gak tau apa masalahmu atau mungkin kamu punya masalah sama orang itu. Tapi, coba kamu lihat dulu. Seenggaknya kamu pastiin dia gak terluka parah."
"Apa urusanmu?" Heyrin menyahut sinis.
"Urusanku?" Aihara kehabisan kata-kata untuk menjawab matanya menatap ke atas untuk mencari alasan. Namun, Ia malah mendapati di atas rooftop, Agatha sedang mengarahkan seember air ke arah kepala Heyrin.
Heyrin tak bisa lagi menunggu, dia akan pergi namun... Tiba-tiba Aihara pergelangan tangannya hingga Ia bergeser bersamaan dengan, BYUR! Agatha yang seember air ke bawah.
Aihara dan Heyrin sama-sama melihat ke arah air yang tergenang.
"Karena aku manusia yang punya hati nurani, aku punya rasa empati dengan orang lain," kata Aihara kemudian.
Mereka saling menatap untuk sesaat.
*...*.💙🤍
Sinopsis Bab Selanjutnya,
"Hmm, dia hanya capek sedikit. Bukan masalah."
"Suka atau enggak suka harus dilakukan, kan, ya, bi?"
"Apa mbak Erin belajar dengan baik hari ini?"
"Saya tidak berharap begitu sebenarnya. Jadi, saya punya keinginan melihat Heyrin tumbuh dengan baik."
Apa aku bisa? Seperti bulan yang berdiri kokoh meski dia hanya sendirian di sana?
_____________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN DI ATAS KOTA
Ficção AdolescenteAihara adalah murid akselerasi dari sebuah sekolah Internasional ke sebuah sekolah yang berada di kota kecil. Dia tidak sengaja berurusan dengan Heyrin, si murid terpintar namun misterius di saat yang bersamaan hingga gadis itu dijuluki si 'murid ha...