BAGIAN 12-2: PUNGGUK DAN PUTRI BULAN

15 2 0
                                    

"Kim Ryung?"

Merasa seseorang berbicara padanya, Aihara berbalik badan. Mereka—Dean dan Aihara —saling tatap untuk sesaat. "Maaf, kakak berbicara dengan saya?" tunjuk Aihara pada dirinya sendiri, setelah melirik ke sana kemari  dan hanya ada mereka berdua.

Dean terdiam,  ingatannya cukup tajam. Tapi kenapa kali ini dia salah?

“Namamu bukan Kim Ryung?”

“Bukan. Nama saya Aihara.”

Dean merasa bersalah karenanya, dia meminta maaf pada pemuda itu. Dari kaca, dia melihat Aihara keluar kafe kemudian memandang ke arah Heyrin—yang menatap Dean sambil menggoyangkan gantungan kunci di tangan.

“Dia bukan Kim Ryung? Tapi, kenapa dia persis seperti Ryung? Ah enggak. Kim Ryung dinyatakan tewas waktu itu,” gumam Dean meyakinkan diri.

Dan semakin bingung karena orang yang dikiranya Kim Ryung—Aihara—berlari
menuju ke tempat Heyrin.

“Warna biru nih cantik. Enak diliat.” Aihara memberi saran pada Heyrin: tentang
gantungan kunci. “Jangan hitam terus. Meski alur hidup mu berat, tapi tetap aja kamu harus suka warna terang.”

“Chist.” Heyrin teguh pada pilihannya—gantungan kunci warna hitam— “Ini kan
hidupku.”

“Tau. Aku, kan, cuman kasih saran.” Aihara masih memilih-milih gantungan kunci dan
terpaku pada gantungan kunci bermotif beruang. “Beruang kutub lebih cantik. Dingin,” lanjut Aihara tak menyadari perubahan ekspresi Heyrin yang terbengong karena lagi dan lagi, ucapannya itu membuat Heyrin merasa deja Vu.

“Heyrin? Rin?”

“Ah, iya?!” Heyrin gelagapan.

“Jangan kebiasaan melamun, ah. Bu beli gantungan kunci nya yang ini dua, ya.” Aihara membayar gantungan kunci pilihannya lalu memberikan benda itu pada Heyrin.

Aihara melihat-lihat pedagang kaki lima yang berjualan di sekeliling. “M.a.r.t.a.b.a.k.
Martabak manis.” Aihara mendikte salah satu nama makanan. “Rin, ayo beli itu! Aku yang
bayar, deh…“

Heyrin mencari-cari yang dimaskud Aihara. “Apa, sih?”

“Udah ikut aja!” Aihara langsung menarik pergelangan tangan Heyrin dan mengajaknya ke warung martabak manis itu. Dia memilih menu dengan agak lama. “Heyrin tuh sukanya yang cokelat…” gumamnya.

Tak butuh waktu lama, martabak yang dipesan Aihara sudah selesai. “Nih! Bawa
pulang!” Aihara menyodorkan sebungkus martabak pada sosok yang sedari tadi hanya diam.

“Aku gak suka makanan ini.” Heyrin santai sekali dan karena itu Aihara cepat-cepat
meletakkan jari telunjuknya sambil melotot-melotot. Memberi tahu Heyrin bahwa yang tadi dikatakannya itu tidak sopan.

Penjual martabak memaklumi namun tetap merasa gemas oleh interaksi keduanya. “Dek, ini kembaliannya.”

Aihara menghadap dengan tidak enak. “iya, makasih, ya bang…” dia tersenyum hangat sebelum berlalu dan Heyrin yang hanya acuh.

Keduanya: Aihara dan heyrin menunggu untuk menyebrang.

“Rin, lain kali jangan gitu, ya…” kata Aihara menasehati.

“Apa?” Heyrin menyodorkan plastik martabak. Dia tetap tidak mau
menerimanya.

“Ambil.”

Aihara menghela napas, sabar. “Kalau dikasih itu harusnya diterima, ya, cantik. Sebelum seseorang memberi ini, dia harus berperang dulu dengan pikirannya.”

Heyrin terdiam sejenak, perasaan rasa bersalah sedikit menyelimutinya. “Aku cuman berusaha buat jujur.” Heyrin akhirnya menyangkal perasaaan itu.

Mereka menyebrang dengan tenang dan duduk di kursi di pinggir jalan. Memperhatikan jalanan sebentar, Heyrin mengerutkan kening karena Aihara sibuk dengan plastik martabak.

BULAN DI ATAS KOTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang