Dengan keringat yang mengucur deras di pelipisnya, Kakinya melangkah menyusuri gang yang sempit dan gelap, kepala bagian belakangnya diperban, jari-jarinya menghitam.
Rendi, berjalan sendiri dengan masih menggunakan seragam sekolah, menuju sebuah rumah sederhana satu pintu dengan pagar kayu setinggi dadanya.
Begitu dia membuka pintu, yang di dapati hanyalah seisi rumah yang gelap, dan tangannya langsung meraba dinding mencari sakelar lampu. Berjalan mengendap menghampiri satu-satunya kamar di rumah itu.
"Kak?" panggilnya, pada seseorang yang bergelung di dalam selimut tebal. Dia tau ini tidak bisa diandalkan, maka...
"Ayo bangun, hari ini kita makan di warteg..." katanya dan itu langsung berhasil membuat sang kakak terduduk.
Tio memperhatikan lamat-lamat wajah Rendi. "Cedera, cedera. Kepalamu... sakit?
Heyrin, itu biar aku senang, kan? Kenapa di selamatkan?" katanya, penuh tanya oleh aksi sang adik yang tak diduganya di sekolah.
Rendi menyahut. "Kak Tio nanti sedih kalau lihat Heyrin terluka."
"Kepalamu... Kepalamu... Tadi kan berdarah..."
Refleks Rendi meraba kepala bagian belakangnya, memastikan sejenak. "Tadi kan udah diobati di UKS, diperban juga."
"Kalau gitu, beli obat sakit nyeri. Apotek. Harus beli di apotek jangan di rumah sakit. Mahal. Nanti di periksa lagi. Bayar, kita gak punya jaminan sosial..."
"Iya, nanti malam aku beli."
"Terimakasih. Adik baik, Rendi berbakti. Katanya menggantikan orang tua. Mama sama papa berjuang, jadi pahlawan, di Taiwan..." Tio bercerocos lagi-tentang kondisi keluarganya yang sangat berbeda sekarang.
Dua tahun lalu, usaha keluarganya mengalami kebangkrutan akibat terlilit hutang. Selain semua aset mereka disita, orang tua Rendi dan Tio memutuskan untuk bekerja di Taiwan demi melunasi hutang. Jadi, mereka ditinggalkan di Indonesia dengan menyewa sebuah rumah.
Tapi, tinggal terpisah juga tidak buruk. Meski harus melewati hari yang berat dan bekerja paruh waktu sepulang sekolah, Rendi akan selalu mengutamakan sang kakak. Apalagi Rendi yang dituntut harus bertanggung jawab penuh atas keselamatan Tio, karena hanya dia
yang normal sepenuhnya."Habiskan makanan nya kak. Kita belum Nerima transferan bulan ini..." komentarnya pada yang lebih tua: sedang mengaduk-aduk isi dari seporsi nasi goreng.
"Nanti dihabiskan. Tapi ragu artinya waspada. Harganya mahal. Uang. Kenapa gak masak telur dadar..."
"Aku yakin kakak pasti bosan. Makanya kita makan di Warteg dulu. Aku janji deh, akhir pekan aku belikan ayam goreng. Oke?"
"Mendengar makanan kesukaanya disebut, Tio mengacungkan jempolnya. Memakan lahap hidangan di depannya sedangkan sang adikk tersenyum, dia juga mengunyah makanan yang berbeda dengan kakaknya : Nasi putih dengan sambal teri.
"Apa kak Tio takut?" tanya Rendi tentang lorong yang gelap. Dia menggenggam tangan sang kakak kuat-kuat, bersiap untuk lari sebelum anjing pemilik sebuah rumah mewah di sana mengejar mereka.
Masih dengan nafas yang tersengal-sengal, Rendi meneguk air putih dan duduk di sofa ruang tamu. Berpikir sejenak dengan memeluk jari-jarinya, Mengambil ponsel menekan nomor seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN DI ATAS KOTA
أدب المراهقينAihara adalah murid akselerasi dari sebuah sekolah Internasional ke sebuah sekolah yang berada di kota kecil. Dia tidak sengaja berurusan dengan Heyrin, si murid terpintar namun misterius di saat yang bersamaan hingga gadis itu dijuluki si 'murid ha...