Di sebuah taman kecil di sudut kota Griya, tepatnya di bawah pohon Flamboyan yang
besar, terdapat dua anak kecil yang menggunakan seragam putih merah, tengah duduk di rerumputan sambil memakan camilan yang mereka beli tadi di kantin sekolah.Di dekat anak laki-laki, terparkir sebuah sepeda gunung dengan dua helm. Sedangkan di dekat anak perempuan, tergeletak dua ransel sekolah milik mereka berdua.
Kedua anak itu adalah Kim Ryung—bocah dengan kulit putih bermata sipit—dan Heyrin.Sepasang sahabat yang sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka bahkan sudah menganggap sahabat mereka itu seperti saudara mereka sendiri.
“Hae suka awan gak?” tanya Ryung mengunyah roti sambil menatap awan-awan yang menggumpal di langit.
Heyrin kecil menjawab dengan asal. “Gak suka. Awan enggak ada warnanya.”
Ryung menelan rotinya dengan agak susah kemudian menatap wajah Heyrin dari
samping. “Nanti aku jadi pilot deh, terus bisa bawa Hae terbang liat bintang, bulan, matahari dari jarak yang deket.” Ryung mengawang jauh.“Janji, ya?” Heyrin akan menagih itu suatu saat nanti. “Jangan terbang sendirian, lho. Aku gak bolehin.”
“Iya, iya.” Ryung sudah siap jika akan ditagih suatu hari nanti.
Ngomong-ngomong. “Kalau aku suka Heyrin di masa depan, Heyrin bakal suka balik sama aku gak?” tanya Ryung mengejutkan gadis di sebelahnya.
Kalimat yang Ryung lontarkan memang terlalu ambigu untuk dicerna oleh anak berumur 9 tahun. Ryung memandang dalam sahabatnya. Berharap Heyrin memberikan jawaban memuaskan, bahwa…
“Iya! Aku juga suka Ryung! Ryung baik, dia ngajarin aku naik sepeda. Ryung belain aku
dari papa. Ryung juga ajari aku main badminton, nanti kalo aku udah SMP aku pasti lebih bisa tinggi dari Ryung!” jawab Heyrin, antusias. Di akhir kalimatnya Ia tertawa riang sambil menepuk-nepuk kedua tangannya.Ryung tersenyum tipis. Heyrin memang terlalu polos untuk mencerna ucapannya.
Meskipun mereka duduk di kelas yang sama, tapi usia mereka tidaklah sama. Ryung satu tahun lebih tua dari Heyrin karena Ia agak telat masuk sekolah.“Ryung kenapa diam aja? Ryung ga suka dibilang baik?” Heyrin menatap khawatir
sahabatnya. Ia mendekat. Mengguncang-guncang lengan Ryung.Ryung menggeleng. “Bukan gitu. Maksud aku… Suka sebagai pacar. Iya. Aku dan
Heyrin. Kita pacaran.” Dia mencoba menjelaskan.Kening Heyrin yang mengerut menjadi pertanda jika gadis kecil itu tidak memahami maksud Ryung yang sebenarnya.
Heyrin menerawang. “Pacaran? Yang kakak-kakak sama abang-abang jalan berduaan sambil pegangan tangan? Gitu, ya, Ryung?”
“Iya, kayak gitu memang. Tapi, kita ini masih kecil. Gak boleh pacaran.” Ryung merasa
kikuk sambil nyengir kuda.“Kenapa? Kita bisa jalan bareng-bareng sambil pegangan tangan!” seru Heyrin, senang.
Ryung mengetuk-ngetuk jarinya di dagu. Memilah kata yang lebih sederhana dan pas
untuk dicerna oleh Heyrin. Padahal, usia mereka tidaklah terpaut jauh, tapi tidak tau bagaimana bisa Ryung mempunyai pikiran seperti itu.Ryung berasal dari keluarga yang selalu mengikuti jejak digital modern sedangkan
Heyrin, meski rumahnya lebih besar dari Ryung, ada kekangan tersendiri yang diterapkan kedua orang tuanya.“Pokoknya, anak kecil ga boleh pacaran. Tapi boleh suka-sukaan,” tukas Ryung agak
tegas.“Oh…, kayak aku suka Ryung, Ryung suka aku?”
Ryung mengangguk sambil mengusap pucuk kepala Heyrin sayang. “Pokoknya Heyrin
harus tetap suka sama aku, ya. Nanti kalau udah gede kita pacaran. Mau?”
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN DI ATAS KOTA
Dla nastolatkówAihara adalah murid akselerasi dari sebuah sekolah Internasional ke sebuah sekolah yang berada di kota kecil. Dia tidak sengaja berurusan dengan Heyrin, si murid terpintar namun misterius di saat yang bersamaan hingga gadis itu dijuluki si 'murid ha...