BAGIAN 12-1: PUNGGUK DAN PUTRI BULAN

22 1 0
                                    

Tempo lalu pak No pernah menyinggung nama Dean. Pemuda berumur 25 tahun itu
nyatanya memang putra sulung Tn. Raiden bersama istri pertamanya: Ny. Renata yang sudah meninggal 3 tahun yang lalu akibat kanker otak yang Ia derita. Selama ini hubungan Dean dan ayahnya tidak cukup baik. Meski biaya hidup Dean sepenuhnya ditanggung oleh sang ayah, tetap saja anak itu menaruh rasa benci pada orang tua tunggalnya lantaran meninggalkan ibunya
demi wanita lain. Saat ia masih kecil.

Klek. Halaman buku dibalik oleh Dean. Dia duduk dengan menyilangkan kaki sambil
membaca di satu kursi yang berderet panjang. Kursi rumah sakit. Suara sirene ambulans berhasil membuatnya menoleh, meninggalkan bukunya begitu saja dan berlari ke IGD, berdasarkan informasi bahwa Ia harus menangani pasien itu. Melesat
pergi Menuju brankar berisi pasien yang berdarah di bagian kepala.

“Saya akan memeriksanya…” begitulah kata Dean, yang saat ini resmi menjadi seorang
dokter umum di sebuah rumah sakit ter-besar di kota Griya. Memang, sebelum dinyatakan lulus pun dia sudah magang di sini.

Usai melakukan tugasnya, Dean membuang sarung tangan medis sekali pakai lalu
membuka ponselnya.

Dia tersenyum saat adiknya—Heyrin— mengirim sebuah foto tanpa senyuman.

“Kalau bukan karena mau jalan-jalan bareng samamu waktu malam minggu. Abang pasti milih rumah sakit yang lain,” gumamnya kemudian memotret dirinya tengah tersenyum sambil menjulurkan lidah untuk dikirim ke sang adik.

“Eh, dokter Dean. Sudah selesai nih jadwal kerjanya?” tanya seorang dokter
kandungan—kira-kira berumur sama dengan Dean—Dokter Raisa, teman satu kampus Dean.

“Udah. Sekarang pasien di pindah ke UGD. Kalau dari posisi luka di kepala bagian
belakangnya sepertinya dia jatuh dari tangga. Tapi, kita tunggu saja kesaksian polisi.” Dokter Dean membicarakan pasien trauma yang baru saja Ia tangani.

Dokter Raisa meladeni. “Oh… berarti orang itu bisa aja ngelakuin percobaan bunuh diri.
Bisa aja karena depresi atau semacamnya. Eh, dokter Dean, jangan tinggal sendiri lagi, deh.”

“Kan dari kuliah dulu selalu sendiri. Memangnya kenapa, sih?”

“Ey, orang kesepian itu berpotensi kena gangguan mental. Heran, deh. Bahkan setelah lulus dan sukses pun masih tetap sendiri. Kenapa gak cari pacar aja, sih, dokter? Jangan melalang buana terus gitu, lah,” dokter Raisa menyarankan. Ini karena dia tidak pernah tau bagaimana latar belakang Dean yang sebenarnya.

Dokter Dean berpose seolah berpikir. Dikenal humoris, dia memang jarang membagikan cerita tentang hidupnya. "Dokter Raisa sajalah. Bagaimana?"

"Hah?"

Saat asyik berbincang, seorang polisi—Tn. Alfan—datang ke hadapan mereka berdua.
Usai berhormat, dia menyatakan tujuannya. “Apa benar anda lah dokter yang menangani pasien yang baru masuk?”

“Iya pak. Saya sendiri.” Dokter Dean tidak bohong.

“Pasien itu merupakan pasien rumah sakit jiwa yang melakukan percobaan bunuh diri.
Dia dinyatakan depresi akibat kecelakaan besar tujuh tahun lalu. Saya harap kita bisa saling bekerja sama.” Tn. Alfan menaruh harap.

Dokter Dean mengiyakan. “Baiklah pak. Kami akan memantau kondisi dan memindahkan Pasiennya ke ruangan khusus.”

Tn. Alfan puas sekali dengan keputusan Dean, dia pun undur diri. Dari pernyataannya itu, dokter Raisa seperti mengingat sesuatu.
“Insiden tujuh tahun lalu, yang booming bukannya insiden tol beruntun, ya?”

Memori Dean berusaha untuk mengingatnya.7 tahun lalu, tepatnya pada di 25 September saat liburan semester, tahun 2015, terjadi sebuah kecelakaan hebat akibat sebuah truk
yang rem-nya blong. Berita itu menggemparkan seluruh dunia lantaran korbannya tak main-main. Menewaskan 25 orang dan 93 orang terluka termasuk luka berat maupun luka ringan. Total mobil yang terlibat adalah sekitar 30 mobil.

BULAN DI ATAS KOTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang