Epilogue

175 14 0
                                    

Suara alunan dari alat musik favorit Nouri terdengar menghiasi kamar yang hening itu. Dengan hati dia memainkan lagunya, dari awal hingga akhir, penuh akan perasaan.

Suara itu masuk ke pendengaran pria yang tengah berbaring. Perlahan kembali bisa merasakan pergerakan tubuhnya sendiri, bisa mengangkat jari-jemarinya, dan membuka kelopak matanya.

Cahaya matahari menyerbu masuk indranya, namun tak semenyengat milik Dawnshade, menandakan bahwa saat itu adalah pagi hari.

Lorien terbangun, akhirnya.

Namun dia belum bergerak sedikitpun, seperti kebiasaannya, tidak ingin mengganggu permainan Nouri sama sekali, menunggu lagu itu habis. Menunggu bagaikan seseorang yang patuh akan tuannya, menunggu dengan sabar dan dengan senang hati, menikmati seluruh nada yang dikeluarkan dari ujung alat musik tiup itu.

Ketika lagu mencapai penghujung, Lorien menatap wajah Nouri, lagi-lagi seperti kebiasaannya. Mata Nouri masih tertutup, tubuhnya duduk di sisi tempat tidur, dekat dengannya. Nouri tampak indah, seperti biasanya. Tangan itu perlahan menurunkan alat musik dalam genggaman dan perlahan membuka mata untuk meletakkannya di pinggang. Gerakan yang telah ribuan kali ia ulang sehingga kini sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas.

"Lagi."

Nouri tersentak ketika mendengar suara itu dari sampingnya. Awalnya gelagapan, hampir saja serulingnya terjatuh jika belum tersangkut pada tempatnya. Kepalanya otomatis melihat ke arah Lorien, melihat kelopak mata itu sudah kembali terbuka menunjukkan bola mata cokelat yang bersinar diterpa matahari.

Rasanya dia ingin menangis.

Nouri lemparkan tubuhnya pada Lorien ketika pria itu hendak bangkit untuk duduk, membuat Lorien hampir kembali terhuyung ke belakang. Pelukan Nouri terasa erat, hangat, Lorien merindukannya.

Ternyata ia merindukan Nouri, bahkan di dalam ketidak sadaran.

Pada akhirnya Lorien berhasil duduk di tengah pelukan (serangan) dari Nouri itu, dengan kepala Nouri yang tak lepas dari ceruk lehernya, dengan tangannya yang terus mengusap punggung Nouri. "Kau menangis?" Tanyanya.

"Tidak." Lorien dapat merasakan gelengan kepala Nouri di pundaknya.

"Tapi kemarin kau menangis?"

Hening terdengar sejenak sebelum Nouri bercicit kecil, "Iya."

Lorien tidak sanggup manahan tawa kecilnya, lucu sekali menurutnya. "Kenapa sekarang tidak menangis?"

"Kenapa aku harus menangis?" Nouri menjauhkan tubuh mereka sedikit untuk melihat wajah Lorien.

"Aku ingin melihatmu menangis."

"Mati saja lagi." Nouri memukul pundak itu pelan. Kesal dengan jawaban Lorien.

"Hey! Aku baru saja bangun!"

"Maaf. Jangan mati." Nouri tiba-tiba menunduk, sangat menyesal akan perkataannya. "Jangan tinggalkan aku lagi." Wajahnya semakin sendu, Lorien sendiri tidak tahan melihatnya.

"Tidak, aku tak akan kemana-mana." Lorien kembali membawa Nouri ke dalam dekapannya. "Aku hanya ingin melihatnya lagi karena kau tampak cantik ketika menangis."

"Kapan kau melihatnya?"

"Di Winterwoods? Saat kau memangku kepalaku."

Nouri menggeleng lagi, sembari melepaskan pelukan mereka. "Kau tak akan mau melihat wajahku ketika aku menangis di hadapan Aweena."

Nouri dapat mendengar dengusan kesal dari Lorien. "Aku kalah dengan wanita itu?!"

Tak kuasa Nouri menahan tawanya, bisa-bisanya pria yang baru bangkit dari kematian itu cemburu dengan temannya yang melihatnya menangis darah. Ketika tawa Nouri reda, dia menyadari tatapan Lorien di wajahnya, tepat di matanya. Keheningan ini membuat Nouri kembali tenang.

High FaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang