Agnes dan Elsa tertawa terbahak-bahak mendengarkan cerita Ruby. Kedua temannya itu memang menunggu di depan hotel, dan langsung di ajak oleh Ruby untuk segera pergi dari hotel itu. Mereka memutuskan untuk pulang ke apartemen di mana mereka tinggal, lebih tepatnya apartemen milik Agnes yang menjadi tempat tinggal bersama.
“Kau keterlaluan, Ruby. Bisa-bisanya kau menghina milik seseorang. Harga dirinya pasti tergores sangat dalam” ucap Elsa, mengusap sudut matanya yang berair karena tertawa begitu lepas.
“Bahkan seorang perempuan yang bertemu laki-laki berukuran kecil, akan menghargainya dengan mendesah keenakan agar tidak melukai perasaan lawan mainnya” tambah Agnes, perempuan itu baru balik dari dapur, membawa segelas air putih untuk menghilangkan rasa mabuknya. Agnes mendudukkan bokongnya di sofa sebelah Ruby.
Ruby menghela napas, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, kedua kakinya dia naikkan ke atas sofa dengan posisi di lipat, di atas lipatan kakinya ada sebuah bantal. “Aku hanya memikirkan bagaimana caranya aku bisa selamat dari laki-laki itu. Aku tidak peduli dia tersinggung atau tidak”
Agnes mengangguk, menaruh gelasnya di atas meja. Agnes mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, menghadapkan tubuhnya ke arah Ruby. “Apakah benar sekecil itu?” tanyanya penasaran.“Kalau di lihat dari perawakannya yang tinggi, dia pasti memiliki kejantanan yang besar” Agnes kembali mengingat laki-laki yang di bawa Ruby ke hotel. Jelas, di matanya dia melihat laki-laki itu tinggi menjulang, bahkan Ruby yang berjalan di sampingnya hanya sebahunya saja.
“Tidak semua laki-laki tinggi memiliki pusaka yang besar, Agnes” Elsa ikut menghadap ke arah Ruby, posisinya Ruby duduk di tengah-tengah temannya itu.
Agnes melipat kedua tangannya di dada, tampak berpikir lagi. “Mungkin kau kurang beruntung saja, Ruby”
Ruby mendelik kesal. “Aku tidak berniat menggunakannya juga” Sama sekali tak terbesit di benak Ruby untuk melakukan hubungan dengan laki-laki yang dia temukan di bar. “Lagi pula miliknya memang besar”
Agnes dan Elsa menatap Ruby dengan wajah penasaran. “Sebesar apa?” tanya Agnes. Perempuan satu ini memang sangat menyukai selangkangan laki-laki, semua jenis pusaka dari berbagai ras sudah dia coba, mulai dari bule sampai lokal sudah Agnes cicipi.
“Aku tidak punya perbandingan” Ruby tidak bisa menilai seberapa besar punya Chris. “Segini, mungkin” Ruby mengangkat tangannya, berlagak seperti menggenggam milik Chris, walaupun dia sedikit ragu.
“Kau memegangnya?” tanya Elsa.
Ruby mengangguk ragu, jika merasakannya dari balik jubah mandi sama saja dengan memegangnya bukan. “Merasakannya dari balik jubahnya, aku kaget dengan kelakuan laki-laki itu. Dia begitu kurang ajar” dengusnya, jadi kesal mengingat Chris yang menarik tangannya ke selangkangan laki-laki itu.“Apa sebesar ini, ya?” Ruby kembali mengira-ngira ukuran Chris, dia sedikit lupa.
“Sebentar” Elsa menggapai ponselnya yang berada di atas meja. Tangan Elsa bergerak-gerak di atas ponselnya, mencari sesuatu yang bisa menjadi perbandingan bagi Ruby. “Sebesar ini?” tanyanya, mengarahkan ponselnya ke arah Ruby. Agnes ikut melihat ponsel Elsa.
“Apa aku harus menonton video porno untuk mencari perbandingan?” tanya Ruby, menatap kesal ke arah ponsel Elsa yang menampilkan laki-laki telanjang dengan memperlihatkan miliknya.
Elsa berdecak. “Ini hanya foto sekilasnya saja. Kau tidak perlu menonton videonya. Lagi pula, kau tidak sepolos itu. Kau sering menontonnya”
Ruby mendengus, bisa saja Elsa menyindirnya di saat seperti ini. Dia memang bukan perempuan polos, Ruby pernah menontonnya, hanya belum pernah memperagakannya saja. Ruby menatap kembali layar ponsel Elsa, sedikit membayangkan milik Chris yang tadi dia lihat, perlahan kepalanya dia gelengkan. “Bukan, lebih besar dari ini”
Elsa dan Agnes mulai mengernyit heran. Lebih besar lagi? Elsa kembali mencari ukuran yang lebih besar, begitu juga dengan Agnes. Bergantian mereka menyodorkan berbagai ukuran kepada Ruby, dan selalu mendapatkan gelengan kepala dari perempuan itu.
“Kau yakin melihatnya?” tanya Elsa, mulai tidak yakin dengan penilaian Ruby hampir semua ukuran dia berikan, tapi tidak ada yang sesuai.
Ruby mengangguk. “Dia membuka bajunya, aku melihatnya dengan jelas”
“Bagaimana dengan ini?” Kali ini Agnes memberikan pusaka laki-laki yang sudah sangat besar menurutnya.
Ruby menatap ke layar ponsel Agnes, begitu juga dengan Elsa. Ruby memicingkan matanya, tampak berpikir.
“Apa lebih besar lagi?” tanya Elsa. “Dia keturunan orang mana, Ruby? Mungkin itu bisa jadi petunjuk bagi kami”
“Aku tidak tahu dia keturunan mana. Namanya saja aku tahu dari temannya. Tapi, sepertinya ini..” Ruby mengambil alih ponsel Agnes, kembali membandingkan dengan milik Chris. “Hampir terlihat sama. Aku tidak tahu apakah benar sama karena ini hanya foto saja”
“Kira-kira saja” suruh Agnes.
Ruby mengangguk, mengembalikan ponsel Agnes. “Kira-kira sebesar itu”
Elsa pindah duduk ke samping Agnes, ingin melihat lebih jelas ukuran pusaka di ponsel perempuan itu. Mata kedua teman Ruby menatap, keduanya shock.
“Dia sangat perkasa, Ruby. Harusnya aku yang mengajaknya tidur ke hotel” ucap Agnes, tidak percaya Ruby telah melewatkan laki-laki dengan pusaka yang hebat.
“Untung kau tidak berakhir dengannya, Ruby. Jika sampai dia berhasil menidurimu, kau tidak akan bisa jalan seharian” Elsa berdecak kagum membayangkan milik Chris, sekaligus ngeri jika Ruby di hantam pusaka laki-laki itu.
“Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terlukanya harga diri laki-laki itu saat kau katakan miliknya kecil. Dia pasti akan sangat frustasi” ucap Agnes. Dia yakin saat ini Chris pasti merasa begitu terhina, dan kehilangan percaya diri.
“Aku tidak peduli. Lagi pula, dia pasti tidak butuh validasi juga jika memang merasa punyanya besar” Ruby sangat tidak peduli dengan kondisi Chris, niatnya memang ingin menjatuhkan kepercayaan diri laki-laki itu.
Di lain sisi, Chris memilih menyewa perempuan lain untuk memenuhi kemarahannya. Laki-laki itu mengentak miliknya berulang kali sampai perempuan yang membelakanginya itu menjerit kesakitan sekaligus keenakan. Chris menjadi marah saat kembali mengingat ejekan dari Ruby yang mengatakan miliknya kecil.
“Apa milikku besar?” tanya Chris menarik rambut perempuan yang dia sewa.
Perempuan itu menatap Chris dengan wajah memerah. “Kau begitu besar” rintihnya. Tubuhnya bergoyang-goyang seiring entakkan demi entakkan yang di lakukan Chris di belakangnya.
Chris masih belum puas, dia mendorong semakin dalam lagi dengan gerakan yang sangat kasar. “Apa ada yang lebih besar dariku?”
Perempuan itu menggeleng, menggigit bibir bawahnya saat merasakan dirinya begitu penuh. “Kau pelangganku yang paling perkasa”
Chris tersenyum. Setiap perempuan yang bermain dengannya selalu mengatakan hal yang sama. Dia harusnya tidak percaya dengan ucapan Ruby, perempuan itu pasti sengaja merendahkannya agar bisa melepaskan diri darinya.
*******“Kau sudah menemukannya?” tanya Chris, menatap ke arah Irfan yang duduk di bar bersama dengan Davin. Setelah menggempur habis perempuan sewaannya, Chris kembali menemui kedua temannya yang masih menikmati minuman di bar.
Irfan menggeleng. “Dia bukan perempuan yang bekerja di bar milikku” jelasnya.
Bar di mana tempat mereka berada memang milik Irfan, laki-laki itu yang mengelolanya. Selain menyediakan minuman bagi pelanggan, Irfan juga menyediakan perempuan yang bisa di sewa oleh pelanggan untuk menemani malam mereka. Berbeda dengan Irfan, Davin bekerja sebagai sekretaris dari Chris, laki-laki yang tengah gusar itu.
Chris mengusap wajahnya kasar, menuangkan wine ke gelas, lalu meneguknya sampai tandas. Chris menggenggam erat gelasnya, pandangannya tampak penuh kemarahan. Dia masih belum melupakan hinaan dari Ruby, bahkan setelah dia mendapatkan pujian dari perempuan yang dia sewa, kata-kata penuh hinaan dari Ruby masih terngiang-ngiang di benaknya.
“Untuk apa lagi kau mencarinya? Kau sudah mendapatkan penggantinya bukan? Aku rasa pelayanan dari perempuan tadi akan sangat memuaskan, dia perempuan terbaik di sini” jelas Irfan, menatap Chris yang masih terlihat gundah.
“Dia menghinaku” ucap Chris, kembali menuangkan wine ke gelasnya.
Kedua teman Chris tampak terkejut. “Apa yang dia katakan padamu? Apa aku harus menemukannya, dan membuatnya bertanggung jawab atas hinaannya?” tanya Davin.
Chris menggeleng, meneguk minumannya lagi sampai habis. “Tidak. Jika aku menemukannya, aku akan membuktikan padanya jika hinaannya itu tidak benar. Gadis kecil itu sudah salah memilih korban”
“Apa dia membawa kabur uangmu, dan tidak melayanimu?” tanya Irfan.
Chris tersenyum sinis, jika saja Ruby melakukan itu, maka Chris akan sangat ikhlas. Dia tidak akan seperti ini jika saja Ruby hanya membawa kabur uangnya. “Dia mengatakan milikku kecil”
Irfan memandangi selangkangan Chris. “Aku rasa tidak, Chris. Dia mengatakan itu pasti karena belum melihat isi celanamu saja”
“Dia melihatnya, dengan tatapan mengejeknya dia menatap selangkanganku”
“Wow, dia sangat berani” seru Irfan, tidak percaya dengan Ruby yang begitu berani mengatai seorang Chris. Mereka pernah berendam di pemandian air panas secara bersama, dan Chris termasuk yang paling hebat dari mereka, baik dalam hal isi celana maupun isi dompet.
Chris menatap ke arah kedua temannya. “Apa kau punya obat pembesar?”
“What?!!” kaget Irfan. “Kau ingin memperbesarnya lagi? Kau ingin perempuan yang bekerja di bar milikku menjerit kesakitan setiap melayanimu?!”
Davin yang pembawaannya sangat tenang, memilih menuangkan wine ke gelas Chris yang sudah kosong. “Kau lupakan saja ucapan perempuan itu. Kau tidak perlu terlalu ambil pusing. Selama ini, apakah ada yang mengatakan seperti itu padamu?”Chris menggeleng, menyesap minumannya lebih santai, tidak seperti tadi yang langsung meneguknya sampai habis. Tidak pernah ada yang mengatakan miliknya kecil, setiap perempuan yang dia sewa selalu mengatakan miliknya besar. Ruby, perempuan yang pertama kali mengejeknya dengan kalimat seperti itu.
“Benar kata, Davin. Kau tidak perlu mendengarkannya. Dia hanya asal bicara saja. Jika nanti dia datang ke bar sini lagi, aku akan mengabarimu” ucap Irfan, ikut mencoba menenangkan Chris yang harga dirinya sedang tergores.
“Dia sengaja mengatakan itu padamu. Kau tidak sadar bagaimana gelisahnya dia saat duduk di sini tadi? Dia sangat gelisah” Davin memang memperhatikan gerak-gerik Ruby, dalam duduknya, perasaan gelisah itu begitu kentara, walaupun Ruby berusaha menyembunyikannya.
Dari awal, Davin sudah merasa aneh dengan Ruby yang tiba-tiba saja mendekati mereka dan mengajak Chris ke hotel. Perempuan itu juga bukan perempuan yang bekerja di bar yang memang sering menawarkan dirinya kepada pelanggan.
Chris mengangkat bahunya. “Aku akan menganggapnya begitu” Chris akan mencoba melupakannya, walaupun dia masih begitu belum terima di tuduh kecil oleh Ruby.
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh, My Boss!! (TAMAT)
Romance(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE ACAK!) WARNING!! (21+) Tak kunjung mendapatkan pekerjaan, Ruby menerima tantangan dari kedua sahabatnya untuk mengajak tidur laki-laki acak yang berada di bar di mana mereka sedang minum...