BAB 5

5.4K 151 5
                                    

Tidak terlalu sulit bagi Ruby untuk beradaptasi dengan lingkungan kerjanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak terlalu sulit bagi Ruby untuk beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Dalam waktu kurang dari sebulan, Ruby sudah bisa melakukan pekerjaannya dengan baik layaknya seorang yang ahli, karena memang dia selalu di bantu oleh Daffa, sehingga Ruby bisa paham dengan semua tugasnya.

Ruby mengecek semua barang yang di masukkan oleh Pak Naryo ke dalam mobil, laki-laki itu di bantu oleh beberapa pegawai yang lain. Ada sekitar 100 dus produk yang akan mereka kirimkan ke salah satu supermarket karena stok barang di sana sudah habis sehingga mereka melakukan restock.

“Ini surat jalannya, Pak” Ruby memberikan surat jalan yang sudah dia siapkan kepada Pak Naryo. Laki-laki itu sudah menutup pintu belakang mobil, dan semua produk di pastikan sesuai.

Pak Naryo mengambil surat jalan dari tangan Ruby. “Saya langsung berangkat, Bu” pamitnya, di balas dengan anggukkan oleh Ruby. Laki-laki itu segera masuk ke dalam mobilnya, membawa semua barang kiriman ke lokasi tujuan.

“Sudah kau cek semua?” tanya Daffa, menghampiri Ruby yang masih berdiri di depan pintu gudang.

Ruby mengangguk. “Sudah” jawabnya dengan mata yang masih tertuju ke mobil Pak Naryo. Mobil itu keluar dari gudang, bergabung dengan kendaraan lain di jalanan.

Ruby baru tahu beberapa hari setelah bekerja di MFood jika mobil kiriman tidak boleh melewati depan gedung utama. Semua mobil kiriman akan lewat jalan lain yang berada di depan gudang. Hal itu di tentukan oleh pemilik MFood agar segala aktivitas di gudang tidak akan mengganggu kegiatan di gedung utama.

Pemilik MFood memikirkan kondisi di mana mobil kiriman akan berlalu lalang setiap saatnya untuk melakukan pengiriman. Untuk itu, gudang di buat membelakangi gedung utama, dan di buatkan jalan khusus juga. Semuanya sudah di pertimbangkan oleh pemilik MFood. Dari depan gedung utama, akan terlihat seperti gedung biasa saja, tempat di mana karyawan MFood bekerja di kantoran. Sementara di sisi bagian belakangnya, akan terlihat seperti sebuah gudang yang di belakangnya ada bangunan pencakar langit, gedung utama MFood. Jadi, posisi gedung utama dan gudang saling membelakangi.

Para pegawai yang bekerja di gudang pun lebih sering lewat jalan yang berada di depan gudang, dan mereka menuju lantai 2 melalui lift yang menghubungkan gudang dengan gedung utama. Awalnya, Ruby masih lewat depan gedung utama, tapi kemudian Daffa memberitahu untuk lewat bagian depan gudang saja, karena semua pegawai gudang seperti itu, kecuali Pak Burhan yang memang hanya bertugas di dalam ruangannya saja.

“Kau sudah menyelesaikan laporan stok bulan ini, Melly?” tanya Daffa, menoleh ke arah Melly yang duduk di sebelahnya. Ruby juga ikut menoleh, posisi duduknya di sebelah Daffa, laki-laki itu di apit oleh Ruby dan Melly.

Melly mengangguk. “Sudah, aku sudah mengirimkannya ke email gudang. Sepertinya Pak Burhan juga sudah mengeceknya”

Daffa mengangguk, kemudian dia menatap layar komputer, membuka email gudang untuk mengecek laporan stok yang dibuat oleh Melly. Mata Daffa berfokus kepada tabel yang berisi nama barang dan jumlah stok yang masih tersedia di gudang. Daffa menemukan beberapa produk yang stoknya tinggal sedikit, dan harus meminta tambahan stok ke bagian pabrik.

“Aku bisa meminta bantuan padamu?” Tanya Daffa, melirik Ruby sejenak.

“Apa yang bisa aku bantu?”

“Kau catat beberapa produk yang stoknya di bawah 20 dus, dan kau telepon pihak pabrik untuk mengirimkan barang tambahan ke gudang” Daffa menatap Ruby, perempuan itu sedikit mencondongkan badannya ke arahnya. Daffa tersenyum tipis, membuat Ruby menatapnya heran.

“Apa ada yang aneh denganku?” tanya Ruby, mengusap wajahnya dengan telapak tangan, takutnya, wajahnya tercoret pulpen lagi seperti waktu itu. Pernah, Ruby tanpa sengaja mencoret wajahnya dengan pulpen, dan Daffa menertawainya, tapi laki-laki itu juga yang membantu Ruby membersihkan coretan di wajahnya.

Daffa menggeleng. “Tidak ada yang salah. Kau cantik”

Terdengar dengusan dari Melly, perempuan itu memutar bola matanya kesal saat Daffa selalu memuji Ruby. Semenjak Ruby datang, Daffa lebih sering berbincang dengan Ruby dari pada dengannya. “Kau di sini untuk bekerja, bukan untuk merayu perempuan, Daffa”

Daffa menoleh ke arah Melly, tertawa meledek. “Apa kau cemburu, Melly? Kau juga ingin aku rayu, hmm?” Daffa mencolek dagu Melly, menggodanya.

Melly menjauhkan wajahnya dari Daffa, tapi bibirnya tertarik membentuk senyuman. Terlihat jelas jika perempuan itu sedang salah tingkah, dia suka saat Daffa menggodanya begitu. “Jangan merayuku, aku sangat profesional dalam bekerja”

“Setelah bekerja, aku bisa merayumu, begitu?” tanya Daffa, mengedipkan sebelah matanya, sedikit tertawa kecil saat melihat pipi Melly yang merona. Setelah puas menggoda Melly, Daffa kembali memutar badannya untuk menghadap ke arah Ruby. “Kau sudah pernah menelepon pabrik?”

Ruby menggeleng. Dia belum pernah menghubungi orang di pabrik karena dia hanya melakukan tugas yang berurusan dengan orang-orang di gudang saja.

“Kau bisa mencari daftar nomor telepon dari masing-masing pabrik di sini” Daffa membuka sebuah dokumen yang berisi daftar pabrik dan nomor telepon yang bisa di hubungi beserta nama orang yang bertanggung jawab di sana. “Kau perkenalkan dirimu saja terlebih dahulu. Katakan saja kau dari gudang MFood, dan jelaskan maksud kau menelepon mereka”

“Jika kau tidak bisa, biar aku saja yang menelepon pabrik” ucap Melly, menawarkan dirinya untuk membantu Ruby. Sebenarnya, Melly menawarkan dirinya bukan untuk membantu Ruby, melainkan menarik perhatian Daffa. Melly bukanlah orang yang akan bersedia membantu Ruby, perempuan itu kelihatan tidak suka dengan Ruby.

Daffa menoleh ke arah Melly, tersenyum kepada perempuan itu. “Bagus jika kau ingin membantu, Melly” Kemudian, Daffa kembali menatap Ruby. “Kau perhatikan cara Melly menelepon agar kau bisa tahu, Ruby” Daffa bangkit dari duduknya, membiarkan Ruby pindah duduk ke sebelah Melly.

Ruby mengangguk. “Baiklah, aku akan memperhatikan Melly” Ruby pindah duduk di sebelah Melly yang sudah membuka dokumen laporan stok, dan tangannya sudah mengangkat gagang telepon, hendak menghubungi pabrik yang di tuju.

******

“Ada beberapa berkas yang memerlukan tanda tanganmu, Chris” ucap Davin, memberikan berkas yang perlu di tanda tangani oleh Chris, ada sekitar empat berkas dengan map berwarna hitam yang dia taruh di atas meja Chris.

Chris mengangguk, membuka berkas yang berada di bagian atas, mengeceknya terlebih dahulu sebelum membubuhi tanda tangan. “Apa Irfan ada meneleponku?” tanyanya.

Davin menatap Chris dengan kedua alis yang di tautkan. “Kau menunggu Irfan menelepon?”

Chris menggeleng, bukan Irfan yang dia tunggu, laki-laki itu menunggu informasi dari Irfan mengenai keberadaan perempuan yang menghinanya. Chris masih sangat penasaran dengan perempuan itu, dia terus memikirkannya, antara marah ingin balas dendam, dan tertarik, mungkin. “Dia belum memberitahuku apakah dia pernah melihat perempuan itu di bar lagi?”

“Jangan bilang kau masih berharap bisa bertemu dengan perempuan yang waktu itu?”

Chris belum menjawab, memilih menyelesaikan tanda tangannya di berkas yang terakhir. Setelah selesai, Chris menutup pulpennya, kemudian mengangkat kepalanya untuk menatap Davin. “Aku penasaran dengannya, dan aku akan membuatnya mengakui keperkasaanku”

Tekad Chris begitu bulat untuk mengembalikan harga dirinya yang tercoreng oleh kalimat hinaan dari Ruby. Semenjak bertemu dengan Ruby, Chris tidak berhenti merasa kesal saat teringat tatapan mata mengejek yang Ruby layangkan padanya. Selain, kesal, Chris juga penasaran dengan bibir ranum yang berani menghinanya itu. Uh, Chris mungkin lebih penasaran ingin mencicipi bibir Ruby lagi.

“Sudah aku bilang untuk melupakannya saja, Chris. Memikirkannya hanya akan membuatmu semakin marah”

Chris mengangguk, dia berusaha melupakan ucapan Ruby, tapi tidak bisa. Bukan hanya ucapan perempuan itu yang terbayang, wajahnya pun juga terus melintas di benak Chris. “Apa ada lagi yang harus aku tanda tangan?” tanyanya.

Davin menggeleng. “Hanya ini. Sama satu lagi, aku ingin mengingatkan jika nanti sore kau ada pertemuan dengan salah satu klien kita”

Chris memberikan berkas yang sudah dia tanda tangan kepada Davin, dahinya sedikit mengernyit. “Apa agendanya baru kau beritahu padaku?”

“Tidak. Aku sudah memberitahumu dua hari yang lalu, ada klien yang ingin menjalin kerja sama dengan kita”

Chris mengangguk. “Baiklah. Pertemuannya di kantor?”

Davin menggeleng. “Tidak, pertemuannya di luar, aku sudah memesan tempat untuk meeting nanti”

Chris mangut-mangut, Davin sangat andal dalam mengurus semuanya. Dia sudah mempercayakan pekerjaannya di urus oleh Davin, dan sejauh ini semuanya di atur dengan sempurna. “Oke”

Davin mengangguk, kemudian melangkahkan kakinya hendak keluar dari ruangan Chris. Saat kakinya baru sampai di depan pintu, suara dari Chris menghentikan langkah kakinya.

“Oh, iya, pegawai kita, apakah ada yang memakai baju kaus berwarna biru?”

Davin membalikkan badannya, menatap Chris dengan alis yang bertaut. “Baju kaus biru?” ulangnya, bingung dengan maksud pertanyaan dari Chris.

Chris mengangguk. “Iya, aku pernah melihat perempuan itu datang ke kantor kita, dan dia memakai baju kaus biru dengan logo perusahaan kita. Aku hanya melihatnya sekali waktu itu, tanpa sengaja”

Chris pernah melihat Ruby tanpa sengaja saat perempuan itu memasuki lift di gedung utama. Chris melihatnya hanya sepintas, tapi dari perawakannya dia tahu jika itu Ruby. Meskipun sedikit ragu karena mereka hanya pernah bertemu sekali, dan itu sangat singkat.

“Mungkin hanya mirip saja” Davin berpendapat, karena tidak mungkin Ruby bekerja di tempat mereka, dan berani menghina Chris. Jika Ruby pegawai di sini, maka perempuan itu pasti mengenali Chris sebagai atasannya. Bahkan seorang OB sekalipun tidak akan berani menghina seorang Chris yang tidak akan segan-segan memecat karyawan hanya karena tersinggung.

Chris tampak berpikir, sepertinya tidak hanya mirip, dia merasa jika itu memang perempuan yang dia cari. “Divisi apa yang memakai seragam biru?” tanyanya lagi.

Davin berpikir sejenak. “Sepertinya pegawai yang bekerja di gudang, mereka memiliki seragam sendiri. Kau juga yang menyetujui saat mereka mengajukan untuk membuat seragam khusus pegawai gudang”

“Siapa kepalanya?”

Davin mengernyit bingung. “Kepala yang mengajukan ide seragam? Atau kepala gudang yang sekarang?” tanyanya, mengingat pengajuan seragam khusus pegawai gudang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, dan kepala yang mengajukan itu sudah pensiun, dan di gantikan oleh kepala baru.

“Kepala yang sekarang, Davin. Untuk apa aku menanyakan kepala yang lama” decak Chris, sedikit kesal dengan Davin.

“Kepala gudang yang sekarang Pak Burhan”

Chris mengangguk. “Oke. Kabarkan padanya jika aku ingin bertemu dengan semua pegawai yang bekerja di gudang”

Davin menatap Chris ragu, laki-laki itu tidak pernah berhubungan dengan orang gudang karena itu bukan tugasnya. “Untuk apa?”

“Aku ingin menyapa pegawaiku. Apakah aku tidak boleh melakukannya?”

Bukannya tidak boleh, hanya terkesan aneh saja seorang Chris menyapa pegawai yang tidak berhubungan dengannya. “Aku akan memberitahu kepala gudang” Meskipun kurang setuju dengan keinginan Chris, Davin tetap mengikuti perintah dari Chris karena dia atasan Davin selama bekerja.

“Aku minta hari ini”

Rasanya, Davin ingin memprotes keinginan Chris yang terkesan buru-buru, dan tanpa direncanakan itu, tapi melihat bagaimana Chris begitu serius mengucapkannya, membuat Davin hanya bisa mengangguk menyetujui. “Akan aku atur, setelah jam makan siang”

*****

Oh, My Boss!! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang