Volume 1: Chapter 6

19 3 2
                                    

🌟🌟🌟
**Chapter 1.6**

Setelah pagi yang tenang dan reflektif, Kiko dan teman-temannya kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat di mana Ignis, sang naga penjaga, bersemayam. Dengan Lumia memimpin jalan, mereka semakin dalam menyusuri hutan ungu yang penuh misteri. Kali ini, mereka bergerak lebih cepat, didorong oleh tekad dan rasa tanggung jawab yang besar.

Meskipun suasana hutan masih terasa sunyi dan agak menyeramkan, Kiko merasa ada perubahan dalam dirinya. Sejak mimpi tentang Ignis, ia merasakan semacam kekuatan baru yang mulai muncul dari dalam dirinya, meskipun ia belum sepenuhnya memahami apa itu. Tapi ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus menerima kekuatan itu jika ingin membangunkan Ignis.

Ketika mereka semakin jauh masuk ke hutan, tiba-tiba Lumia berhenti di depan sebuah celah sempit di antara dua pohon besar. Celah itu tampak seperti pintu menuju area yang lebih gelap di dalam hutan, di mana cahaya matahari hampir tidak bisa menembus. Di balik celah itu, udara terasa lebih hangat, seolah-olah ada api yang menyala di kejauhan.

"Kita hampir sampai," kata Lumia dengan suara yang hampir berbisik. "Di balik celah ini, kita akan memasuki wilayah yang sangat dekat dengan tempat Ignis tertidur. Tapi, berhati-hatilah. Ada makhluk-makhluk yang menjaga wilayah ini, dan mereka tidak akan membiarkan kita lewat begitu saja."

Kiko menelan ludah, merasakan gugup yang merayap di tubuhnya. Tapi ia tidak membiarkan rasa takut itu menguasai dirinya. "Kita harus tetap bersama dan saling melindungi," katanya kepada teman-temannya.

Dengan hati-hati, mereka memasuki celah sempit itu satu per satu, dengan Kiko di depan, diikuti oleh Lala, Bobo, dan Tito. Begitu mereka masuk, mereka langsung disambut oleh pemandangan yang menakjubkan: sebuah koridor alami yang dipenuhi dengan tanaman menjalar berwarna merah menyala, yang memancarkan cahaya samar seperti bara api. Tanaman-tanaman itu tampak hidup, bergerak perlahan seolah-olah mereka sedang bernapas.

"Kita harus melewati ini," kata Lumia, terbang di depan mereka. "Tapi hati-hati dengan tanaman ini. Mereka bisa berbahaya jika kalian terlalu dekat."

Mereka mulai bergerak maju dengan hati-hati, menjaga jarak dari tanaman-tanaman itu. Tapi semakin jauh mereka masuk, semakin terasa panas di sekitar mereka. Kiko bisa merasakan keringat mulai mengalir di dahinya, dan ia mulai khawatir bagaimana mereka bisa melewati ini semua.

Tiba-tiba, dari dalam kegelapan di depan mereka, muncul sekelompok makhluk kecil berbentuk seperti kobaran api. Mereka melayang-layang di udara, menari-nari dengan gerakan cepat dan berputar-putar di sekitar Kiko dan teman-temannya. Makhluk-makhluk ini tampak marah dan berbahaya, mata mereka yang bersinar menunjukkan bahwa mereka siap menyerang siapa pun yang berani mendekati wilayah mereka.

Lala, yang paling waspada di antara mereka, langsung mengangkat duri-durinya sebagai pertahanan. "Kiko, apa yang harus kita lakukan? Makhluk-makhluk ini tampak siap menyerang!"

Kiko berpikir cepat. Ia tahu mereka tidak bisa melawan makhluk-makhluk ini dengan kekuatan semata. Mereka butuh rencana yang cerdas. Ia teringat akan sesuatu yang Ignis katakan dalam mimpinya: bahwa perbedaan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan.

"Aku akan mencoba berbicara dengan mereka," kata Kiko dengan mantap. "Kita tidak boleh melawan mereka. Mereka hanya menjaga wilayahnya."

Kiko melangkah maju, menghadapi makhluk-makhluk api itu dengan penuh keyakinan. "Kami bukan musuh," katanya dengan suara tenang namun tegas. "Kami datang untuk mencari Ignis, sang penjaga. Kami ingin membangunkannya agar bisa memulihkan keseimbangan dunia ini."

Makhluk-makhluk itu berhenti bergerak, seolah-olah mereka mendengarkan. Kiko melanjutkan, "Kami tidak akan merusak tempat ini atau menyakiti siapa pun. Tolong biarkan kami lewat."

Untuk beberapa saat, suasana menjadi tegang. Makhluk-makhluk itu saling melirik satu sama lain, seolah-olah mempertimbangkan kata-kata Kiko. Kemudian, salah satu makhluk api itu—yang tampaknya lebih besar dari yang lain—terbang mendekati Kiko. Makhluk itu menatapnya dengan mata yang bersinar tajam, seakan mencoba membaca niat di balik kata-katanya.

Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, makhluk itu akhirnya mengangguk perlahan. Ia mengeluarkan suara aneh yang terdengar seperti gemerisik api, dan segera setelah itu, semua makhluk api itu mulai menyebar, membuka jalan bagi Kiko dan teman-temannya.

"Kamu berhasil, Kiko!" seru Tito dengan suara penuh kelegaan.

Kiko tersenyum lega, tapi dalam hatinya ia tahu ini baru permulaan. Mereka masih harus menemukan Ignis dan membangunkannya. "Ayo, kita lanjutkan," kata Kiko, melangkah maju dengan lebih percaya diri.

Mereka melewati koridor penuh tanaman merah yang tampak hidup itu, dan tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah gua besar yang pintu masuknya dikelilingi oleh cahaya merah yang berkedip-kedip, seolah-olah ada api yang menyala di dalamnya.

"Inilah tempatnya," kata Lumia dengan suara yang hampir berbisik. "Ignis ada di dalam sana."

Kiko menatap gua itu, merasakan getaran aneh di dalam dirinya. Ia tahu saatnya telah tiba. Mereka telah mencapai tujuan mereka, tetapi tantangan terbesar masih menunggu di dalam gua itu.

Dengan napas yang sedikit tertahan, Kiko melangkah maju, diikuti oleh teman-temannya. Mereka masuk ke dalam gua dengan penuh kewaspadaan, siap menghadapi apapun yang ada di dalamnya.

Di dalam gua, suasana semakin mencekam. Dinding-dinding gua memancarkan cahaya merah yang memantul dari kolam lava kecil di tengah ruangan. Di sisi lain kolam itu, berbaring seekor naga besar dengan sayap yang dilipat rapat di punggungnya. Naga itu tertidur lelap, namun setiap tarikan napasnya membuat lava di kolam itu bergejolak.

Kiko tahu inilah Ignis, sang naga penjaga yang mereka cari. Tapi bagaimana caranya membangunkannya? Apa yang harus ia lakukan?

Kiko mendekati Ignis dengan hati-hati, mengingat kata-kata yang Ignis katakan dalam mimpinya. "Kamu harus menerima dirimu apa adanya," gumam Kiko pelan.

Ia menutup matanya sejenak, mencoba merasakan kekuatan di dalam dirinya. Selama ini, ia selalu merasa tidak percaya diri karena keunikannya, karena bulu jingganya yang mencolok dan perasaan bahwa ia berbeda dari yang lain. Tapi sekarang, Kiko mulai menyadari bahwa perbedaan itulah yang membuatnya istimewa. Ia tidak perlu menyembunyikan siapa dirinya—justru itu adalah sumber kekuatannya.

Dengan keyakinan baru, Kiko membuka matanya dan berdiri tegak di depan Ignis. "Aku Kiko, dan aku datang untuk membangunkanmu, Ignis. Dunia ini membutuhkanmu."

Untuk sesaat, tidak ada yang terjadi. Tapi kemudian, mata Ignis mulai terbuka, memancarkan cahaya merah yang menyala-nyala. Naga itu mengangkat kepalanya, menatap Kiko dengan penuh makna. "Kamu telah menemukan kekuatanmu, Kiko," kata Ignis dengan suara yang dalam dan bergema. "Dengan menerima siapa dirimu, kamu telah membangunkanku."

Gua itu mulai bergetar perlahan, dan cahaya merah yang memancar dari dinding-dindingnya semakin terang. Ignis berdiri dengan gagah, membentangkan sayapnya yang besar, dan melingkari kolam lava dengan ekornya. Kiko merasa seolah-olah seluruh gua itu dipenuhi dengan energi baru—energi yang berasal dari Ignis dan juga dari dirinya sendiri.

"Terima kasih, Kiko," kata Ignis dengan penuh rasa hormat. "Kamu dan teman-temanmu telah menunjukkan keberanian dan kesatuan yang luar biasa. Dengan bantuan kalian, keseimbangan dunia ini bisa dipulihkan."

Kiko tersenyum, merasa beban di pundaknya mulai menghilang. Mereka telah berhasil—tapi ini bukan akhir. Ini baru awal dari perjalanan yang lebih besar, di mana mereka akan terus belajar dan tumbuh bersama.

Dengan kehangatan dan cahaya dari Ignis yang mengelilingi mereka, Kiko dan teman-temannya siap untuk kembali ke Hutan Lembayung, membawa harapan dan kekuatan baru yang akan membantu mereka menjaga keseimbangan antara dua dunia.

**Akhir Chapter 1.6**
🌟🌟🌟

Rabbit And The Legend Of Orange Fur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang