Volume 4: Chapter 1

6 2 0
                                    

🌟🌟🌟
**Chapter 4.1**

Kegelapan di Hutan Lembayung telah dikalahkan, tetapi dengan harga yang sangat tinggi. Kiko berdiri di tempat yang dulu merupakan arena pertempuran terakhirnya bersama Tito, Lala, dan Auri. Udara di sekitarnya masih terasa dingin, meskipun cahaya pagi mulai menerangi pepohonan yang megah di Hutan Lembayung.

Namun, bagi Kiko, kehangatan matahari pagi itu terasa kosong. Cahaya yang dulu membawa harapan kini terasa seperti pengingat tentang apa yang telah ia hilangkan—teman-temannya. Tito, yang penuh semangat dan keberanian, Lala yang tenang dan bijaksana, serta Auri, yang menjadi sumber kebijaksanaan dan panduan mereka. Semuanya telah tiada. Meski tubuh mereka sudah hilang, pengorbanan mereka tetap terasa dalam setiap langkah yang kini Kiko ambil.

Dengan kepergian mereka, Kiko kini sendirian. Cahaya Tertinggi yang masih melayang di sampingnya bersinar lembut, seolah-olah merespons perasaan Kiko yang penuh dengan kesedihan dan kebingungan. Namun, di balik semua rasa sakit itu, Kiko tahu satu hal: petualangannya belum selesai. Kegelapan yang pernah mengancam Hutan Lembayung hanyalah bagian kecil dari ancaman yang lebih besar, dan ia kini memiliki misi yang lebih besar dari sekadar menjaga hutan—ia harus melindungi dunia.

Setelah semalaman merenung di bawah Pohon Besar, tempat di mana banyak petualangan mereka dimulai, Kiko akhirnya mengambil keputusan. Ia harus pergi. Meninggalkan Hutan Lembayung, mengembara ke seluruh dunia untuk membasmi musuh-musuh yang masih bersembunyi di balik bayang-bayang. Musuh-musuh yang mengancam keseimbangan alam, dan mungkin lebih kuat daripada apa yang pernah ia hadapi sebelumnya.

"Sekarang aku harus melakukannya sendirian," gumam Kiko, suaranya hampir tidak terdengar di antara gemerisik angin yang berhembus di pepohonan. Cahaya Tertinggi di sampingnya bersinar lebih terang, seolah-olah menyetujui tekad Kiko. "Aku tidak akan membiarkan pengorbanan Tito, Lala, dan Auri sia-sia."

Dengan hati yang berat, Kiko mulai berjalan menjauh dari Pohon Besar, menuju perbatasan Hutan Lembayung. Hutan yang dulu ia lindungi kini terasa seperti rumah yang tak lagi memberinya kedamaian. Setiap sudut hutan itu mengingatkannya pada kenangan bersama teman-temannya—tawa Tito, kebijaksanaan Lala, dan saran bijak dari Auri.

Namun, Kiko tahu bahwa dunia di luar hutan jauh lebih besar, dan ancaman yang menunggu di luar sana tidak akan memberikan waktu untuk berduka. Dunia membutuhkan pelindung, dan ia kini menjadi satu-satunya yang bisa mengambil peran itu.

Perjalanan Kiko dimulai dengan melewati perbatasan Hutan Lembayung, tempat pohon-pohon besar yang memancarkan aura magis mulai berkurang, digantikan oleh lanskap yang lebih kasar dan asing. Jalan yang dulu ditempuhnya bersama teman-temannya kini tampak berbeda, dan Kiko merasakan beban tanggung jawab yang semakin besar di pundaknya.

Saat hari mulai beranjak siang, Kiko mendekati sebuah desa kecil yang berada di pinggiran hutan. Desa itu tampak sepi, seperti ditinggalkan oleh para penduduknya. Rumah-rumah yang biasanya penuh kehidupan kini hanya menyisakan puing-puing, dan suasana suram melingkupi seluruh tempat itu.

"Apa yang terjadi di sini?" pikir Kiko sambil berjalan lebih dalam ke desa tersebut.

Ketika ia melangkah lebih dekat, suara gemerisik terdengar dari salah satu rumah yang sudah setengah hancur. Kiko segera bersiaga, memegang Cahaya Tertinggi dengan lebih erat, siap menghadapi apa pun yang akan muncul.

Dari balik reruntuhan, seorang lelaki tua muncul dengan langkah tertatih-tatih. Wajahnya dipenuhi dengan ketakutan, dan tubuhnya tampak lemah, seolah-olah ia telah bersembunyi selama berhari-hari tanpa makanan atau minuman.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Kiko, mencoba menenangkan lelaki tua itu.

Lelaki tua itu memandang Kiko dengan tatapan yang dipenuhi dengan keputusasaan. "Mereka datang... makhluk-makhluk gelap dari gunung. Mereka menyerang desa ini, mengambil orang-orang kami... Aku satu-satunya yang selamat, tapi... aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan."

"Makhluk gelap?" Kiko terdiam sejenak. Ia langsung mengingat Penghuni Kegelapan dan bayangannya. Mungkinkah ada lebih banyak dari mereka di luar sana, bersembunyi di tempat-tempat terpencil?

"Di mana mereka sekarang?" tanya Kiko dengan tegas, matanya menyipit. "Aku harus menghentikan mereka."

Lelaki tua itu gemetar, menunjuk ke arah pegunungan yang menjulang di kejauhan. "Mereka datang dari sana, dari **Gunung Argen**, tempat kegelapan tidak pernah berhenti berkumpul. Beberapa orang bilang bahwa di puncak gunung itu ada sosok yang memerintah mereka—raja bayangan yang lebih kuat dari apa pun yang pernah kami lihat."

Mendengar kata-kata itu, Kiko langsung memahami bahwa inilah tujuan berikutnya. **Gunung Argen**—tempat di mana kegelapan berkumpul dan raja bayangan berkuasa. Jika benar ada musuh sebesar itu di luar sana, maka ini hanyalah permulaan dari perjalanannya.

"Aku akan pergi ke sana," kata Kiko dengan suara tegas, sambil berbalik menatap gunung di kejauhan. "Aku akan menghentikan mereka."

Lelaki tua itu memandang Kiko dengan mata yang penuh harapan, meskipun wajahnya masih dipenuhi dengan rasa takut. "Semoga keberuntungan menyertaimu, Nak. Tidak ada yang pernah kembali dari gunung itu..."

Namun, Kiko tidak mundur. Ia tahu bahwa pertempuran yang menantinya di sana akan lebih berat daripada yang pernah ia alami, tetapi ini adalah tanggung jawabnya. Ia harus memastikan bahwa tidak ada lagi kegelapan yang akan menghancurkan desa-desa atau merampas kehidupan orang-orang yang tidak bersalah.

Dengan hati yang penuh tekad, Kiko memulai perjalanan barunya menuju Gunung Argen. Pegunungan itu menjulang tinggi di kejauhan, puncaknya diselimuti kabut tebal yang tampak seperti menyembunyikan sesuatu yang sangat berbahaya.

Dalam perjalanan menuju gunung, Kiko terus berusaha mengendalikan kesedihan yang masih menghantui hatinya. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah-olah bayangan teman-temannya terus mengikutinya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti. Dunia ini terlalu besar, dan ancaman yang datang terlalu kuat. Kiko harus terus maju, meskipun itu berarti mengorbankan segalanya.

Malam pertama di perjalanan menuju Gunung Argen, Kiko mendirikan tenda kecil di tepi hutan yang berada di kaki gunung. Cahaya Tertinggi masih bersinar lembut di dekatnya, tetapi tidak cukup untuk mengusir perasaan kesepian yang semakin menghantuinya. Dalam keheningan malam, Kiko memandang ke arah bintang-bintang di langit, bertanya-tanya apakah Tito, Lala, dan Auri sedang mengawasinya dari jauh.

"Jika kalian ada di sini... aku harap kalian tahu bahwa aku akan melindungi dunia ini, apa pun yang terjadi," bisik Kiko dengan suara pelan.

Esok harinya, Kiko melanjutkan perjalanannya ke atas gunung. Jalan semakin terjal, dan angin dingin mulai menerpa wajahnya. Kabut tebal yang menyelimuti puncak gunung semakin mendekat, dan di kejauhan, Kiko bisa merasakan kehadiran kegelapan yang semakin kuat.

Di puncak Gunung Argen, musuh besar pertama dari perjalanannya sudah menunggunya. Seorang raja bayangan yang menguasai pasukan makhluk gelap, siap menghancurkan siapa pun yang berani menghalanginya.

Tapi Kiko tidak gentar. Dengan Cahaya Tertinggi di sisinya, dan kenangan akan teman-temannya di hatinya, ia tahu bahwa ia akan terus maju. Perjalanan baru ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seluruh dunia—dan ia tidak akan berhenti sampai kegelapan benar-benar lenyap.

**Akhir Chapter 4.1**
🌟🌟🌟

Rabbit And The Legend Of Orange Fur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang