Volume 2: Chapter 2

18 3 4
                                    

🌟🌟🌟
**Chapter 2.2**

Dengan Auri memimpin jalan, Kiko dan teman-temannya memasuki bagian hutan yang lebih dalam dari yang pernah mereka jelajahi sebelumnya. Cahaya dari Batu Cahaya di tangan Kiko memberikan penerangan lembut yang membimbing mereka di sepanjang jalan setapak yang dipenuhi dedaunan. Suara angin yang berdesir lembut di antara pepohonan menciptakan suasana yang penuh misteri, seolah-olah hutan itu sendiri sedang mengamati perjalanan mereka.

Setelah beberapa waktu berjalan, mereka tiba di sebuah area hutan yang berbeda dari biasanya. Pohon-pohon di sini jauh lebih tinggi dan lebih tua, dengan cabang-cabang tebal yang menjulang ke langit, menutupi sinar matahari. Ranting-ranting yang menggantung rendah menciptakan bayangan gelap di tanah, memberikan suasana yang menegangkan.

“Aku belum pernah melihat tempat ini sebelumnya,” bisik Lala dengan nada terkejut. “Hutan ini terasa... lebih tua, dan seolah-olah ada sesuatu yang bersembunyi di balik setiap bayangan.”

Bobo mengangguk, tampak gelisah. “Ini seperti tempat di mana waktu berhenti. Aku merasa kita sedang diawasi.”

Kiko juga merasakan kehadiran yang aneh, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. Batu Cahaya di tangannya masih bersinar terang, menenangkan pikirannya. “Kita harus tetap fokus. Auri mengatakan bahwa Batu Cahaya ini akan memandu kita ke batu berikutnya. Kita hanya perlu mengikuti cahaya dan mempercayainya.”

Auri terbang rendah di depan mereka, berputar-putar sejenak sebelum melanjutkan ke arah yang lebih dalam di hutan. “Kalian benar untuk tetap waspada. Hutan ini adalah rumah bagi banyak rahasia, dan beberapa di antaranya mungkin tidak ingin ditemukan.”

Saat mereka melanjutkan perjalanan, angin mulai bertiup lebih kencang, membawa bisikan-bisikan aneh yang terdengar di antara pepohonan. Bisikan itu terdengar seperti suara yang teredam, seolah-olah hutan itu sendiri sedang berbicara dengan mereka.

“Apa itu?” tanya Tito, berhenti sejenak untuk mendengarkan dengan cermat. “Aku mendengar suara-suara, tapi aku tidak bisa mengerti apa yang mereka katakan.”

“Aku juga mendengarnya,” jawab Kiko. “Mungkin ini salah satu rahasia yang disembunyikan hutan ini. Kita harus berhati-hati.”

Namun, semakin dalam mereka memasuki hutan, semakin jelas bisikan itu terdengar. Tidak lagi terdengar seperti suara yang tidak jelas, tetapi seperti sebuah nyanyian lembut, menyampaikan pesan yang sulit dimengerti.

Lala, yang biasanya tidak mudah terpengaruh, tampak semakin cemas. “Kiko, aku merasa ada sesuatu yang mencoba menarik kita masuk lebih dalam. Bisikan-bisikan ini... mereka tidak terdengar bersahabat.”

Kiko merasakan hal yang sama, tetapi ia tahu mereka tidak bisa berbalik sekarang. Batu Cahaya di tangannya mulai berdenyut, seolah-olah merespons bisikan-bisikan tersebut. “Aku rasa bisikan ini berhubungan dengan batu berikutnya. Kita harus terus maju, tetapi tetap waspada.”

Dengan hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti Auri yang tampaknya tahu persis ke mana harus pergi. Setelah beberapa waktu, mereka tiba di sebuah tempat terbuka di tengah hutan yang lebat. Di tengah-tengah area itu, ada sebuah pohon besar yang berbeda dari pohon-pohon lainnya. Pohon ini sangat tua, dengan kulit kayu yang retak dan akar-akar yang menonjol keluar dari tanah. Namun, yang paling aneh adalah cahaya biru yang bersinar dari dasar pohon tersebut—cahaya yang sama seperti yang dipancarkan oleh Batu Cahaya di tangan Kiko.

“Kiko, lihat itu!” seru Tito, matanya membelalak.

Kiko mendekati pohon besar itu dengan hati-hati. Ketika ia mendekat, bisikan-bisikan di sekeliling mereka semakin jelas, seolah-olah pohon itu sedang berbicara langsung kepada mereka. Suara itu lembut namun dalam, dan meskipun Kiko tidak bisa memahami kata-katanya, ia merasakan dorongan kuat untuk mendengarkan.

“Kiko, aku rasa ini adalah tempat di mana batu berikutnya tersembunyi,” kata Auri dengan suara serius. “Tetapi, untuk menemukannya, kamu harus memahami bisikan pohon ini.”

Kiko menatap Auri dengan bingung. “Bagaimana caranya? Aku tidak mengerti apa yang pohon ini katakan.”

Lumia, yang selama ini diam, terbang mendekat dan menyentuh bahu Kiko dengan sayapnya. “Bisikan hutan ini adalah bahasa kuno, bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memiliki hubungan mendalam dengan alam. Cobalah untuk mendengarkan dengan hati, bukan dengan telinga.”

Kiko menutup matanya dan mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia berkonsentrasi, mencoba merasakan energi yang mengalir di sekelilingnya, meresapi setiap suara dan getaran yang ada di udara. Perlahan, bisikan-bisikan itu mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih bisa dimengerti—sebuah petunjuk yang tersembunyi di balik kata-kata yang tidak ia kenal.

“... kedalaman akar, di bawah bayang-bayang waktu... tempat cahaya tersembunyi menunggu...”

Kiko membuka matanya dengan tiba-tiba, terkejut karena akhirnya ia bisa memahami pesan itu. “Akar pohon ini... Batu itu tersembunyi di bawah akar pohon!”

Tanpa ragu, Kiko berjongkok dan mulai menggali di antara akar-akar pohon besar itu, dengan bantuan teman-temannya. Mereka bekerja dengan cepat, menggeser tanah dan batu-batu kecil yang menutupi dasar pohon.

Setelah beberapa saat, cahaya biru mulai bersinar lebih terang, dan tak lama kemudian, Kiko menemukan sebuah batu lagi, serupa dengan yang ia temukan di sungai. Batu ini juga bersinar dengan cahaya lembut, tetapi lebih kuat dan lebih hangat.

“Kita menemukannya!” seru Kiko dengan gembira.

Auri terbang mendekat, matanya berkilauan dengan rasa lega. “Ini adalah Batu Cahaya kedua. Dengan dua batu ini, kita bisa melacak lokasi batu-batu lainnya dengan lebih mudah.”

Namun, kegembiraan mereka segera terganggu ketika bisikan-bisikan di hutan mulai berubah nada. Kali ini, suara itu tidak lagi lembut dan menenangkan, tetapi menjadi lebih keras dan mendesak. Angin bertiup lebih kencang, dan cabang-cabang pohon di sekeliling mereka mulai berayun-ayun dengan liar.

“Ada yang tidak beres!” teriak Lala, suaranya penuh kecemasan. “Kita harus keluar dari sini, sekarang!”

Kiko merasakan ada sesuatu yang mengintai mereka dari kegelapan, sesuatu yang tidak mereka lihat sebelumnya. Ia meraih Batu Cahaya kedua dan menyimpannya bersama batu pertama, lalu berkata, “Ayo, kita harus pergi dari sini!”

Tanpa menunggu lebih lama, mereka semua mulai berlari, berusaha secepat mungkin keluar dari hutan tua itu. Auri terbang di depan mereka, menunjukkan jalan keluar, sementara angin yang semakin kencang membuat perjalanan mereka semakin sulit.

Ketika mereka akhirnya berhasil keluar dari bagian hutan yang lebat, angin mulai mereda dan bisikan-bisikan itu menghilang, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam. Mereka semua berhenti sejenak untuk mengatur napas, merasa lega bahwa mereka telah berhasil keluar dari hutan tua itu.

“Apa itu tadi?” tanya Bobo, suaranya penuh ketakutan. “Hutan itu tiba-tiba berubah begitu menakutkan.”

“Aku rasa,” kata Auri dengan hati-hati, “kekuatan gelap yang kita hadapi tadi mencoba menghalangi kita. Mereka tahu kita telah menemukan batu kedua, dan mereka tidak ingin kita menemukan yang lainnya.”

Kiko mengangguk, menyadari bahwa perjalanan mereka akan semakin sulit dari sekarang. “Ini baru awal. Kita harus lebih waspada dan siap menghadapi apa pun yang datang. Tapi kita tidak akan menyerah. Kita akan menemukan semua batu ini dan melindungi Hutan Lembayung.”

Dengan dua Batu Cahaya di tangan, Kiko dan teman-temannya merasa lebih kuat, meskipun mereka tahu tantangan yang mereka hadapi akan semakin besar. Mereka telah berhasil melewati ujian pertama, tetapi perjalanan mereka baru saja dimulai.

Dengan tekad yang kuat, mereka kembali berjalan menuju Pohon Besar, bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang selanjutnya.


**Akhir Chapter 2.2**
🌟🌟🌟

Rabbit And The Legend Of Orange Fur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang