"Ren, tolong kamu jaga bengkel sebentar, ya? Mas mau ke pasar beli alat-alat yang kurang."
"Oke, Mas!"
"Pak Zan, sama Karen dulu, ya? Sama mau pergi." Setelah mendapat anggukan kepala dari sang pelanggan, Jaka lantas bergegas untuk pergi.
Hari ini keadaan bengkel sangat ramai. Karen sendiri bahkan sudah memegang sekitar tiga motor yang harus di service ringan. Wajah putih nya sudah terlihat tak berbentuk, dengan noda oli dan keringat yang bercampur. Terpaksa juga Karen harus mengikat sebagian rambutnya, agar tak menjuntai dan menutupi pandangan mata.
Juwi datang, membawa sepiring kue yang baru dirinya buat. Kala tak melihat sang suami di sana, wanita itu bertanya, "Lho, Mas Jaka kemana, Ren?"
Menoleh sekilas, lalu Karen membalas, "Barusan pergi, Mbak. Mau ke pasar beli alat."
Mendengar itu, Juwi mengangguk paham, lalu meletakkan piring yang dirinya bawa ke atas meja. "Ini kue nya nanti di makan, ya, Ren. Sebentar lagi jam 12, kamu harus istirahat. Nanti kalah ayah kamu tau, kamu di marah lagi. Kalau mau makan nasi, langsung ke belakang aja."
"Iya, Mbak, makasih ya."
"Ya udah, Mbak ke masuk lagi. Kalau ada apa-apa, panggil Mbak aja."
"Gampang. Mbak Juwi jangan capek-capek, kasian si adek."
Juwi terkekeh, tangannya sontak mengusap perutnya yang masih terlihat rata. "Harus banyak-banyak di bawa gerak, Ren, kata bidan nya juga. Lagian Mbak nggak ngapa-ngapain, kok, nggak kerja yang berat-berat juga. Jadi bukan masalah."
Setelah memastikan bahwa oli motor di depannya sudah di ganti dan aman, Karen lalu berbalik untuk menatap Juwi yang masih berdiri tak jauh dari pintu belakang bengkel. "Kalau aja Ibuk masih di sini, pasti Ibuk bakal bahagia banget karena mau punya cucu." ucapnya.
Senyum Juwi membeku selepas Karen mengatakan itu. "Tapi Mbak yakin, di atas sana, Ibuk juga sudah tau kok. Dan Ibuk pasti bahagia karena bakal punya cucu."
Mungkin, Jaka dan Juwi memang tak pernah lagi mengungkit perihal Ibuk. Hanya saja, Karen yang masih belum sembuh sepenuhnya. Bagaimana pun juga, rasa bersalah itu tak akan pernah hilang dari dirinya.
Jaka dan Juwi memang tak mempermasalahkan, tetapi dirinya, tetap saja menganggap bahwa apa yang terjadi pada Ibuk adalah kesalahannya.
"Tuh, 'kan, mikir yang aneh-aneh lagi." Juwi buru-buru menegur. "Jangan berpikir aneh-aneh, ah, Ren. Yang sudah terjadi yang biar terjadi. Sekarang kita harus melanjutkan hidup dengan lebih baik. Ibuk juga pasti nggak akan suka lihat kamu sedih dan menyalahkan diri sendiri terus."
"Gitu, ya, Mbak?"
"Iya. Asal kamu tau Ren, kalau tidak akan pernah ada penyesalan dalam diri Ibuk karena sudah berkorban segini besarnya untuk kamu. Jadi, kamu harus balas pengorbanan itu dengan cara hidup lebih baik. Sekarang kamu nggak sendirian, 'kan? Ada kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karen Laka
Fiction généraleSemesta menghadirkan dia, untuk mencicipi pahit manisnya sebuah kehidupan. Dengan tubuh kurusnya yang babak belur di hajar pahitnya kenyataan. Dia di paksa agar terus berdiri menjulang, untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tersayang. Dia Karen...