Sorot permusuhan dan kebencian kutangkap dengan jelas dari mata Mas Agas. Selama ini dia belum pernah diberitahu oleh siapa pun—bahkan ibunya sendiri—tentang pria yang pada akhirnya aku nikahi. Jika saja Mas Agas tahu bahwa aku menikah karena hamil duluan, pasti ia akan lebih membenci Mas Raja.
Dari dulu karena melihat kondisiku yang sangat kacau setelah Mas Raja memutus hubungan kami, Mas Agas sangat marah besar. Ia menganggap aku seperti adiknya sendiri. Lalu, mengapa Mas Raja yang sangat asing itu berani membuatku terluka? Kurasa begitulah yang Mas Agas pikirkan. Meskipun ia tidak menyuarakannya.
Tebakanku benar, tepat sekali. Suatu hari Mas Agas pernah berkata, "Buat apa kamu menyiksa diri karena lelaki seperti itu, Nadira? Kalau kamu mau aku akan membalas dendammu padanya. Aku tidak suka siapa pun membuat kamu terluka."
Hingga detik ini aku yakin kebencian dan kemarahan Mas Agas terhadap Mas Raja masih berakar kuat. Terlihat dari sorot matanya yang seakan bersiap untuk menerjang suamiku. Matanya tidak beralih pada genggaman tangan kami. Aku berusaha meloloskan pegangan Mas Raja, tetapi pria itu mengeratkan genggamannya.
"Mama, Papa, kami mau pulang. Aku akan membawa Nadira pulang malam ini," ucap Mas Raja tanpa keraguan.
Papa yang duduk di sofa menatap Mas Raja dengan malas. Hanya Mama yang merespons, "Ajak dia pulang ke rumah yang pantas disebut rumah. Kalau orang tuamu tidak mau menerima Nadira, tinggal saja di sini atau kembalikan Nadira pada kami."
"Mama ...." Aku berusaha agar Mama tidak memancing keributan.
Mas Raja justru mengulas senyum tipis ketika melihatku. Seakan ia ingin menyakinkan aku bahwa semuanya baik-baik saja. "Terima kasih atas tawaran Mama dan Papa, tapi aku hanya ingin hidup berdua dengan Nadira. Maaf kalau tempat tinggal kami kurang layak. Saran Mama dan Papa akan aku lakukan." Pria itu kembali menggenggam tanganku, seperti itu akan pernah mau melepasnya. "Aku tetap akan bersama Nadira, Mama. Tidak ada yang ingin aku lepaskan, tidak lagi ... tidak ada perbuatan bodohku untuk yang kedua kali seperti dulu."
Mendengar ucapan Mas Raja, Papa menghela napas dan beranjak. Ia tidak banyak bicara ketika berhadapan dengan Mas Raja, tetapi itulah pertanda bahwa dirinya muak, marah, dan tidak pernah suka pada menantunya yang bersikap sok bijaksana—setidaknya aku berpikir begitulah jalan pikiran Papa.
Pria berkemeja kotak-kotak itu menghilang ditelan pintu kamar. Menyisakan kami berempat yang terkejut ketika pintu kamar Papa ditutup kasar. Aku menunduk dalam-dalam, mungkinkah Papa makin membenciku?
"Nadira?" panggil Mama. Aku langsung berhenti menunduk. "Pikirkan perkataan Mama yang tadi sore. Pikirkan baik-baik. Jangan bikin kami kecewa lagi."
Tanpa memberikan kesempatan padaku untuk berkomentar, Mama melenggang ke tempat lain, ke ruang kerjanya. Selain untuk mengurus pekerjaan dan penelitiannya, Mama biasa mengurung diri di sana untuk menenangkan diri.
Mas Raja menarik pelan tanganku untuk segera keluar dari sana. Kami tidak perlu susah-susah menyalami mereka, toh keduanya yang menghindar. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mencium punggung tangan Mama dan Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Pasutri
Romance[Slow update] Ketika dua garis positif menggemparkan keluargaku, maka tidak ada jalan lain selain meminta pertanggung jawaban. Namun, kenapa mama malah ingin menggugurkan? Tidak, ini buah hatiku. Tidak, ini janinku. Meski ia hadir sebelum aku dan ca...