"Izinkan aku menikah dengan Mas Raja."
Kalimat singkat itu masih menjadi satu-satunya yang paling melekat dalam ingatanku setelah sekian hari terlewat. Setelah semuanya terungkap. Fakta yang tidak hanya menyakiti keluargaku, tetapi keluarga Mas Raja juga. Ternyata fakta kadang menghadirkan kekecewaan yang luar biasa.
Oh, ya ... ini keputusan yang aku ambil setelah sekian lama hidup di bawah titah mama dan papa. Mungkin ini keputusan pertama yang aku buat setelah selama ini apa-apa harus berdasarkan pendapat mereka. Kata mama, Nadira tidak boleh asal membuat pilihan, harus melibatkan mama dan papa. Kata papa, keputusan yang dipilih mama dan papa adalah yang terbaik untuk Nadira.
Mereka orang tuaku, jadi sudah sepatutnya aku patuh sebagai anak. Bukankah ajaran agama melarang seorang anak durhaka kepada orang tua? Sejak kecil aku sudah dicekoki pengetahuan seperti itu. Jadi, apa pun kata mama dan papa harus dilakukan olehku, oleh Nadira, anak mereka satu-satunya. Harapan besar yang bisa membanggakan mereka.
Akan tetapi, sampai kapan ... ternyata ada masanya aku lelah. Inilah titik itu. Titik di mana aku mengacaukan semuanya.
"Kamu cantik sekali, Nad," sapa seseorang membuyarkan lamunan. Aku menoleh, menemukan Tante Ambar tersenyum penuh ketulusan. "Tante nggak menyangka, lho. Akhirnya Nadira kecil yang dulu sering Tante gendong sekarang sudah jadi istri orang. Sudah resmi memiliki keluarga baru."
Ya, Tuhan. Ingin sekali aku menghambur dan berlari memeluk Tante Ambar. Sosok yang beberapa tahun belakangan—sejak masuk kuliah—sangat kuharapkan menjadi ibuku. Daripada bersama mama ... sayangnya, itu tidak akan terjadi. Meski Tante Ambar nyatanya adalah adik dari ibuku sendiri. Mengapa aku berharap terlahir sebagai anak Tante Ambar? Semata karena dia sangat mengerti diriku. Tidak seperti mama.
"Alhamdulillah, ya. Sekarang jangan sedih lagi. Kan, sudah punya suami," ucap Tante Ambar.
"Tante sebenarnya ...." Sial, kata-kataku tercekat. Aku tidak sanggup berkata jujur padanya. Bahwa pernikahan ini ....
"Nad, sebenarnya Tante agak heran dengan keputusan mama dan papa kamu. Tante tau mereka sangat keras terhadapmu. Lalu, tiba-tiba saja kamu diperbolehkan menikah. Padahal kamu sebentar lagi skripsian. Apa nggak terjadi apa-apa, Sayang?"
Kalimatku sudah di ujung lidah. Namun, rasanya sangat kelu untuk mengaku. Bahwa sekarang aku sedang ... ah! Setiap ingin mengatakannya, sesuatu dalam diriku mendadak muak. Aku benci ini! Benci kenyataan dan fakta ini. Benci padanya, padanya yang membuatku seperti ini.
Tante, dia merampas mimpiku.
Aku menggeleng, berusaha mencegah air mata tidak terjatuh. Belum. Aku belum punya banyak keberanian untuk mengaku dengan lantang, bahwa ada tanda-tanda kehidupan lain dalam rahimku. Aku seakan-akan bisa membayangkan wajah kecewa Tante Ambar.
"Ya sudah kalau begitu. Tante nggak mau memaksa dan menyalahkan pilihan kamu, Nad. Ini keputusanmu, Tante akan sangat menghargainya. Ternyata setelah sekian lama, kamu nyatanya tidak bisa melupakan Raja. Kamu masih mencintainya," tutur Tante. Tante Ambar tersenyum lagi. "Kalau ada apa-apa, kabari Tante, ya. Jangan ragu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Pasutri
Romance[Slow update] Ketika dua garis positif menggemparkan keluargaku, maka tidak ada jalan lain selain meminta pertanggung jawaban. Namun, kenapa mama malah ingin menggugurkan? Tidak, ini buah hatiku. Tidak, ini janinku. Meski ia hadir sebelum aku dan ca...